Gugatan Kelangkaan BBM: Menteri ESDM, Pertamina, dan Shell Dihadapkan ke Pengadilan
Kenny Wiston
Seorang konsumen setia PT Shell Indonesia, Tati Suryati, resmi mengajukan gugatan perdata terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, PT Pertamina (Persero), dan PT Shell Indonesia. Gugatan dengan Nomor Perkara 648/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst tersebut telah terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Melalui kuasa hukumnya, Boyamin Bin Saiman bersama Kurniawan Adi Nugroho dan Ardian Pratomo, penggugat menilai para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Dalil Gugatan
Penggugat mendalilkan dirinya mengalami kerugian akibat kelangkaan BBM RON 98 (V-Power Nitro+) di SPBU Shell BSD 1 dan BSD 2. Akibat kondisi tersebut, penggugat terpaksa menggunakan BBM dengan kualitas lebih rendah (RON 92), yang menurutnya berpotensi menimbulkan kerusakan mesin kendaraan.
Menurut keterangan resmi kuasa hukum, petugas SPBU menyampaikan bahwa pasokan BBM RON 98 habis karena kuota yang dibatasi oleh kebijakan Menteri ESDM, yang mewajibkan SPBU swasta membeli base fuel melalui Pertamina. Kebijakan tersebut, menurut penggugat, bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Selain itu, penggugat juga menilai PT Shell Indonesia lalai melindungi konsumen karena gagal menjamin ketersediaan produk premium yang telah dipasarkan.
Kerugian yang Dituntut
Penggugat menuntut ganti rugi dengan rincian:
Kerugian materiil: Rp1,16 juta, dihitung dari ketidakmampuan menggunakan kendaraan sejak 14 September 2024 akibat ketiadaan BBM RON 98.
Kerugian immateriil: Rp500 juta, berupa kecemasan, keresahan, dan kekhawatiran atas dampak penggunaan BBM dengan kualitas lebih rendah terhadap kendaraannya.
Dengan demikian, penggugat memohon agar majelis hakim menyatakan para tergugat telah melakukan PMH dan menghukum mereka secara tanggung renteng untuk mengganti kerugian tersebut.
Analisis Hukum
Secara yuridis, gugatan ini menguji penerapan Pasal 1365 KUH Perdata yang mensyaratkan empat unsur: adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, timbulnya kerugian, serta hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
1. Menteri ESDM (Tergugat I) didalilkan melakukan detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) dengan kebijakan pengadaan base fuel melalui Pertamina yang diduga melanggar Perpres 191/2014.
2. Pertamina (Tergugat II) dianggap memperoleh keuntungan dari kebijakan tersebut sehingga menimbulkan indikasi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
3. Shell Indonesia (Tergugat III) dituding lalai dalam menjamin pasokan BBM premium dan gagal memberikan perlindungan konsumen sesuai UU No. 8 Tahun 1999.
Preseden Hukum yang Relevan
Beberapa putusan terdahulu memberi arah pembacaan perkara ini:
Putusan MA No. 286 K/Sip/1973: pemerintah dapat dimintai tanggung jawab perdata bila kebijakannya menimbulkan kerugian warga.
Putusan PN Jakpus No. 239/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst (Garuda Indonesia): perusahaan bertanggung jawab atas kerugian konsumen akibat layanan yang tidak sesuai.
Putusan MA No. 3651 K/Pdt/1985: kerugian immateriil berupa kecemasan dapat diakui secara hukum, meski nilainya disesuaikan dengan asas kepatutan.
Implikasi
Kasus ini menyoroti tiga aspek hukum penting:
1. Pertanggungjawaban pemerintah dalam kebijakan energi yang berimplikasi langsung pada hak konsumen.
2. Potensi monopoli Pertamina dalam distribusi base fuel yang harus dikaji dari perspektif UU Persaingan Usaha.
3. Kewajiban badan usaha swasta (Shell) dalam menjamin hak konsumen atas produk yang dipasarkan.
Putusan atas perkara ini diprediksi akan memberikan preseden penting terkait hubungan antara kebijakan publik, monopoli BUMN, dan perlindungan konsumen dalam sektor energi.