Kewenangan Jaksa Pengacara Negara dalam Pembatalan Perkawinan

 In Articles

Sandra Marisha, SH

PENDAHULUAN

Memorandum ini membahas kewenangan jaksa pengacara negara dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk dalam konteks tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, memorandum ini juga menelaah putusan pengadilan dan yurisprudensi terkait pembatalan perkawinan oleh jaksa. Analisis dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, KUH Perdata, Undang-Undang Kejaksaan, serta Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, guna memberikan pemahaman komprehensif dan rekomendasi normatif sesuai kerangka hukum yang berlaku.

PEMBAHASAN

  1. Kewenangan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan
  • Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, jaksa berwenang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, selain keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, dan suami atau istri sendiri.
  • Pasal 23 huruf d Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan dapat mengajukan pembatalan, dan dalam praktik, jaksa diakui sebagai pejabat yang dimaksud.
  • Pasal 30 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Kejaksaan memberikan kewenangan kepada jaksa untuk bertindak di bidang perdata dan tata usaha negara, termasuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan demi kepentingan hukum, ketertiban, dan ketenteraman umum.
  • Dalam praktik, jaksa dapat mengajukan pembatalan perkawinan baik atas temuan sendiri maupun berdasarkan laporan masyarakat, sepanjang disertai bukti bahwa perkawinan tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan, seperti perkawinan di bawah umur, poligami tanpa izin, perkawinan beda agama yang tidak sesuai prosedur, atau adanya pemalsuan identitas.
  • Pasal 86, 88, 89, 90, dan 92 Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) juga mengatur bahwa Kejaksaan dapat menuntut pembatalan perkawinan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tertentu, seperti perkawinan di bawah umur, cacat mental, tanpa izin yang dipersyaratkan, atau tidak di hadapan pejabat yang berwenang.
  • Dengan demikian, kewenangan jaksa dalam membatalkan perkawinan didasarkan pada pelanggaran syarat formil maupun materil perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, KUH Perdata, dan peraturan terkait lainnya, serta bertujuan menjaga kepastian hukum, ketertiban, dan ketenteraman umum.
  1. Pembatalan Perkawinan oleh Jaksa dalam Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang
  • Dalam kasus tindak pidana perdagangan orang, jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan tersebut merupakan bagian dari modus atau sarana terjadinya tindak pidana perdagangan orang, khususnya jika perkawinan dilakukan dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  • Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tetap menjadi dasar kewenangan jaksa, termasuk jika perkawinan digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.
  • Pasal 30 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Kejaksaan memberikan hak kepada jaksa untuk bertindak di bidang perdata demi kepentingan hukum, ketertiban, dan ketenteraman umum, termasuk dalam hal pembatalan perkawinan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.
  • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menegaskan bahwa segala bentuk perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang untuk tujuan eksploitasi, termasuk melalui perkawinan, merupakan tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana berat (Pasal 2 ayat (1)).
  • Jika perkawinan digunakan sebagai modus untuk mengeksploitasi korban, misalnya dengan memaksa atau menipu seseorang agar menikah lalu dieksploitasi, maka jaksa dapat mengajukan pembatalan perkawinan tersebut sebagai bagian dari upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan perlindungan terhadap korban.
  • Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menegaskan bahwa korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku perdagangan orang tidak dipidana, sehingga pembatalan perkawinan juga dapat menjadi bagian dari pemulihan hak-hak korban.
  • Dengan demikian, dalam kasus perdagangan orang, jaksa dapat dan sepatutnya mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila terdapat bukti bahwa perkawinan tersebut merupakan bagian dari tindak pidana perdagangan orang atau dilakukan dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
  1. Putusan Pengadilan dan Yurisprudensi Terkait Pembatalan Perkawinan oleh Jaksa
  • Terdapat putusan pengadilan yang dapat dijadikan referensi terkait kasus pembatalan perkawinan oleh jaksa, meskipun dalam praktiknya permohonan pembatalan oleh jaksa tidak selalu dikabulkan oleh pengadilan.
  • Contoh: Putusan Pengadilan Negeri Klaten No. 161/Pid.B/2016/PN.Kln, terkait tindak pidana mengadakan perkawinan padahal perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah (Pasal 279 ayat (1) KUHP). Dalam kasus ini, ditemukan adanya pemalsuan identitas dan pelanggaran syarat sah perkawinan menurut Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan, sehingga tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
  • Permohonan pembatalan perkawinan oleh jaksa dalam kasus tersebut berakhir dengan putusan niet ontvankelijk verklaard (tidak dapat diterima) karena terdapat kesalahan terkait format permohonan pembatalan yang diajukan, bukan karena substansi kewenangan jaksa.
  • Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 196 K/AG/1994 tertanggal 15 November 1995 menyatakan bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan pembatalan perkawinan dalam kasus wali hakim yang tidak berhak, dengan alasan jaksa bukan pejabat yang dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam. Namun, putusan ini tidak bersifat mengikat secara mutlak karena hierarki peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada jaksa lebih tinggi daripada yurisprudensi tersebut.
  • Dalam praktik, jaksa tetap dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan berdasarkan Staatsblad 1922 No. 522, Pasal 123 ayat (2) Herziene Indonesisch Reglement (HIR), serta Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 30C huruf f Undang-Undang Kejaksaan, khususnya untuk melindungi kepentingan umum dan korban, misalnya dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.
  • Dengan demikian, terdapat beberapa putusan pengadilan dan yurisprudensi yang membahas pembatalan perkawinan oleh jaksa, namun keberhasilan permohonan sangat bergantung pada pemenuhan syarat formil dan materil serta pertimbangan hakim terhadap kewenangan jaksa.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas, jaksa memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila terdapat pelanggaran terhadap syarat sah perkawinan, baik dalam kasus umum maupun dalam konteks tindak pidana perdagangan orang. Keberhasilan permohonan sangat bergantung pada pemenuhan syarat formil dan materil serta pertimbangan hakim. Direkomendasikan agar jaksa memastikan kelengkapan bukti dan format permohonan sesuai ketentuan hukum, serta mengedepankan perlindungan terhadap korban dalam kasus perdagangan orang.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

Recent Posts

Send this to a friend