SPBU Swasta Tolak BBM Pertamina: Antara Etanol, Ekonomi Energi, dan Aspek Hukum

 In Legal News & Events

Syafira Almutahaliya

SPBU Swasta Tolak BBM Pertamina: Antara Etanol, Ekonomi Energi, dan Aspek Hukum

Keputusan SPBU swasta besar seperti PT Vivo Energy Indonesia (Vivo) dan BP-AKR (BP) untuk membatalkan pembelian base fuel impor dari Pertamina membuka perdebatan baru dalam sektor energi nasional. Alasannya sederhana tapi krusial: kandungan etanol 3,5% dinilai berisiko merusak mesin serta infrastruktur, meski pemerintah menyatakan masih aman secara regulasi.

Fenomena ini menyingkap tiga lapisan persoalan utama: ketahanan energi, daya saing ekonomi, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha.

Ekonomi Energi: Dilema Transisi Hijau

Kebijakan campuran etanol sejatinya selaras dengan agenda global menuju energi bersih. Namun, dari sisi ekonomi energi, ada sejumlah persoalan:

Biaya tambahan bagi SPBU: Adanya risiko teknis membuat SPBU swasta enggan menanggung beban perawatan tambahan, baik di level infrastruktur distribusi maupun potensi klaim dari konsumen.

Konsumen berpotensi dirugikan: Kendaraan tua lebih rentan terhadap etanol. Jika terjadi kerusakan, ongkos perawatan akan membebani masyarakat, bukan pemerintah.

Pasar bahan bakar menjadi terfragmentasi: SPBU yang menolak etanol akan mencari alternatif impor lain. Ini bisa memicu persaingan harga tidak sehat dan menimbulkan disparitas di lapangan.

Menurut Dr. Bambang Setiawan (ITB), tanpa dukungan standar teknis dan insentif ekonomi, transisi biofuel bisa kontraproduktif.

“Di satu sisi pemerintah ingin menekan impor bensin dengan bioetanol, di sisi lain SPBU swasta harus menanggung biaya adaptasi. Ini tidak seimbang. Harus ada insentif atau kompensasi agar transisi ini tidak menekan salah satu pihak saja,” ujarnya.

Aspek Hukum: Kepastian Kontrak dan Perlindungan Konsumen

Dari sisi hukum, ada beberapa celah yang menimbulkan pertanyaan:

1. Kepastian Kontrak Pasokan
Bila SPBU swasta dipaksa menerima pasokan dengan spesifikasi berbeda dari kesepakatan awal, ini dapat dikategorikan sebagai wanprestasi kontrak atau bahkan penyalahgunaan kewenangan.

2. Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999) menegaskan bahwa produk yang beredar tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pengguna. Bila kendaraan rusak akibat etanol, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban penyedia BBM.

3. Persaingan Usaha Sehat
Bila Pertamina sebagai pemain dominan mewajibkan standar tertentu tanpa memberikan ruang kompetisi sehat, bisa muncul isu pelanggaran prinsip persaingan usaha (UU No. 5/1999).

Menurut praktisi hukum energi, Kenny Wiston, S.H., M.H., problem etanol ini harus dipandang bukan hanya dari sisi teknis, melainkan juga dari aspek hak dan kewajiban hukum para pihak.

“Pemerintah perlu menegaskan standar hukum dalam kontrak jual beli BBM agar tidak ada pihak yang merasa dipaksa. Selain itu, aspek perlindungan konsumen harus diperjelas, agar transisi energi tidak berubah menjadi celah sengketa hukum di kemudian hari,” jelasnya.

Jalan Tengah: Regulasi Berbasis Keseimbangan

Kasus ini menunjukkan bahwa transisi energi tidak bisa hanya mengandalkan jargon “energi hijau”. Perlu regulasi yang menyeimbangkan tiga kepentingan:

Pemerintah mendorong energi bersih dan mengurangi impor.

Pelaku usaha (SPBU) membutuhkan kepastian hukum dan standar teknis jelas.

Konsumen berhak atas keamanan kendaraan dan harga bahan bakar yang wajar.

Tanpa kepastian regulasi dan insentif ekonomi, kebijakan pencampuran etanol justru bisa berujung pada fragmentasi pasar, sengketa hukum, dan bahkan penurunan kepercayaan publik terhadap program energi hijau.

Recent Posts

Send this to a friend