Upaya Hukum Terhadap Kekerasan dalam Pernikahan Sirri

 In Articles

Sandra Marisha, SH

PENDAHULUAN

Kali ini kita membahas upaya hukum yang dapat ditempuh dalam kasus kekerasan pada pernikahan sirri, dengan menyoroti perbedaan perlakuan hukum antara pernikahan yang sah secara negara dan pernikahan sirri menurut hukum Indonesia. Analisis difokuskan pada dasar hukum yang relevan, yaitu penggunaan delik penganiayaan dibandingkan dengan delik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), serta penelaahan yurisprudensi terkait. Tujuan memorandum ini adalah memberikan pemahaman normatif dan praktis mengenai langkah hukum yang dapat diambil korban kekerasan dalam pernikahan sirri, serta memberikan rekomendasi yang sesuai dengan kerangka hukum nasional.

PEMBAHASAN

  1. Upaya Hukum terhadap Kekerasan dalam Pernikahan Sirri
  • Pernikahan sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama, namun tidak diakui sebagai pernikahan yang sah menurut hukum negara apabila tidak dicatatkan di instansi yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
  • Akibat tidak diakuinya status hukum pernikahan sirri, hubungan suami-istri dalam pernikahan tersebut tidak termasuk dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  • Upaya hukum yang dapat ditempuh korban kekerasan dalam pernikahan sirri meliputi:
    1. Pelaporan Tindak Pidana Penganiayaan
      • Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP mengatur penganiayaan yang tertuang dalam Pasal 466-471 yang akan berlaku ditahun 2026.
    2. Pelaporan ke Kepolisian
      • Korban dapat melaporkan perbuatan kekerasan ke kepolisian sebagai tindak pidana penganiayaan, dan proses hukum akan mengikuti ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
    3. Perlindungan dan Pendampingan
      • Korban tetap dapat meminta perlindungan dan pendampingan dari lembaga sosial, LSM, atau advokat untuk memastikan hak-haknya sebagai korban kekerasan tetap terlindungi.
    4. Alternatif Gugatan Perdata
      • Jika terdapat kerugian materiil atau immateriil, korban dapat mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sesuai Pasal 1365 KUHPerdata, meskipun pembuktiannya lebih kompleks karena status hubungan tidak diakui secara hukum negara.
  • Dalam praktik, terdapat putusan pengadilan yang tetap menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 terhadap kasus kekerasan dalam pernikahan sirri, namun hal ini bersifat kasuistik dan sangat tergantung pada pertimbangan hakim.
  1. Delik yang Lebih Tepat: Penganiayaan atau KDRT dalam Pernikahan Sirri
  • Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, lingkup rumah tangga yang diakui secara hukum hanya meliputi hubungan suami-istri yang sah menurut hukum negara.
  • Pernikahan sirri tidak memenuhi unsur rumah tangga menurut undang-undang tersebut karena tidak dicatatkan di instansi yang berwenang.
  • Oleh karena itu, kekerasan dalam pernikahan sirri tidak dapat dijerat dengan delik KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
  • Delik penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP menjadi dasar hukum yang lebih tepat untuk menjerat pelaku kekerasan dalam pernikahan sirri.
  • Namun, dalam praktik terdapat putusan pengadilan yang secara kasuistik tetap menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, tetapi hal ini sangat tergantung pada pertimbangan hakim dan bukan merupakan kaidah umum.
  • Dengan demikian, secara normatif dan berdasarkan asas legalitas, delik penganiayaan adalah dasar hukum yang lebih tepat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam pernikahan sirri.
  1. Putusan Pengadilan dan Yurisprudensi terkait Kekerasan dalam Pernikahan Sirri
  • Terdapat beberapa putusan pengadilan yang relevan:
    1. Putusan Nomor 183/Pid.B/2008/PN.Sgt
      • Majelis hakim memutus terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang melanggar Pasal 351 ayat (2) jo. Pasal 356 ayat (1) KUHP. Penuntut umum mendakwa dengan Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, namun hakim mengabulkan dakwaan kedua karena status hubungan tidak memenuhi unsur rumah tangga menurut undang-undang.
    2. Putusan Nomor 146/Pid.Sus/2017/PN.Srl
      • Terdakwa dijerat pelanggaran Pasal 351 ayat (3) KUHP. Penuntut umum mendakwa secara alternatif dengan Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, tetapi tidak terbukti. Hakim mempertimbangkan dakwaan primer yaitu melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP.
    3. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 180/Pid.Sus/2022/PN.Tng
      • Terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 44 ayat (1) jo. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa dalam praktik, penerapan undang-undang dapat bersifat kasuistik dan sangat tergantung pada pertimbangan hakim.
    4. Putusan Nomor 1683/Pid.B/2017/PN.Bekasi dan Nomor 323/Pid.Sus/2016/PN.Gorontalo
      • Menunjukkan variasi penerapan antara Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Pasal 351 KUHP, tergantung pada pembuktian dan keyakinan hakim terhadap status hubungan para pihak.
  • Dari yurisprudensi tersebut, mayoritas putusan cenderung menggunakan delik penganiayaan dalam KUHP untuk kasus kekerasan dalam pernikahan sirri, kecuali dalam keadaan tertentu di mana hakim menilai unsur rumah tangga terpenuhi secara sosiologis atau berdasarkan fakta persidangan.
  • Secara normatif, penggunaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tetap memerlukan pembuktian status rumah tangga yang sah menurut hukum negara.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas, upaya hukum utama yang dapat ditempuh korban kekerasan dalam pernikahan sirri adalah melaporkan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana penganiayaan ke kepolisian. Delik penganiayaan dalam KUHP merupakan dasar hukum yang lebih tepat dibandingkan delik KDRT, kecuali dalam kasus tertentu berdasarkan pertimbangan hakim. Korban juga disarankan untuk mencari perlindungan dan pendampingan dari lembaga terkait, serta mempertimbangkan gugatan perdata jika terdapat kerugian. Seluruh langkah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

LAMPIRAN DASAR HUKUM

Recent Posts

Send this to a friend