PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA KEPAILITAN ANAK PERUSAHAAN
Laurences Aulina
Pendahuluan
Holding Company yang merupakan perusahaan induk jarang sekali untuk bisa dimintakan pertanggung jawabannya atas kejahatan atau pelanggaran, karena di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas belum diatur secara lebih spesifik. Maka dari itu perlu untuk memahami dan mengkaji lebih dalam lagi konstruksi hukum apa yang digunakan untuk menjerat tindakan hukum anak perusahaan yang tentunya berhubungan dengan holding company dalam melakukan kejahatan atau pelanggaran di tatanan hukum perusahaan Indonesia. Adapun untuk melakukan pendekatan agar holding company dapat bertanggung jawab adalah melirik sebuah Teori Piercing The Corporate Veil yang semestinya di dalam perusahaan haruslah dapat benar-benar diterapkan, agar tentunya mendapatkan kebenaran materil maupun formil mengenai suatu permasalahan kejahatan atau pelanggaran suatu korporasi. Dengan demikian, perlu untuk menggunakan Teori piercing the corporate veil untuk menjembatani kepentingan ekonomi dan bentuk jamak yuridis dari suatu holding Company tersebut.
Teori Piercing the Corporate Veil
Piercing the Corporate Veil dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 20097 tentang Perseroan Terbatas menganut asas separate legal personality sebagaimana tercermin pada Pasal 3 ayat (1) UUPT yang berbunyi, “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.” Pengecualian asas separate legal personality pada pasal di atas disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT yang sering dikenal dengan piercing the corporate veil.
Pasal 3 ayat (2) UUPT menjelaskan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
- persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
- pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
- pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
- pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Artinya, kondisi yang memenuhi unsur piercing the corporate veil adalah kondisi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT.
Holding Company dan Piercing the Corporate Veil
Definisi holding company tidak disebut secara tegas dalam UUPT, namun jika mengacu pada pengertian di atas, maka holding company mempunyai pengertian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 84 ayat (2) huruf b dan c UUPT, yakni “Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
- saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;
- saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; atau
- saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.
Dalam hal pertanggung jawaban holding company atas pailitnya anak perusahaan, maka holding company sebagai pemegang saham akan dikenakan tanggung jawab tidak terbatas (berlaku piercing the corporate veil) jika terdapat penyatuan keuntungan pemegang saham dan tidak ada pemisahan kekayaan antar entitas.
Adapun beberapa alasan atau sebab diperlukannya Piercing the corporate veil terhadap Holding company dalam tindakan hukum anak perusahaan yakni melihat realitas bisnis yang ada sebagai berikut :
- Terjadinya Dominasi tanpa tanggung jawab yang dilakukan Holding company terhadap anak perusahaan.
- Holding berlindung dibalik tirai Limited liability. Berlakunya limited liability menyebabkan tanggung jawab induk semakin terbatas pula. Dengan demikian, tanggung jawab induk semakin terbatas dan mendekati tidak bertanggung jawab jika induk mengeksetrnalisasi kegiatan usaha beresiko kepada anak perusahan lapisan kemepat, kelima dan seterusnya.
- Karena adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dari holding company. Dalam hal ini Holding dapat diberlakukan piercing the corporate veil apabila terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi terhadap perusahaan lainnya melalui anak perusahan. Unsur kerugian dari suatu perbuatan melawan hukum atau wanprestasi menjadi dasar bagi lahirnya tanggung jawab hukum atas pelaku dalam hal ini holding sebagai pemegang saham.
- Karena adanya unsur kerugian terhadap Pihak Ketiga.
Pada dasarnya Holding company tidak bertanggung jawab terhadap tindakan hukum anak perusahaannya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Corporate law kita masih menggunakan Perseroan Tunggal atau yang sering kita kenal kemandirian badan hukum itu sendiri. Keadaan Holding Company harus bertanggung Jawab terhadap tindakan hukum anak perusahaannya yakni dalam hal :
- Holding harus bertanggung jawab terhadap tindakan anak hukum perusahaannya dalam Kontraktual yang bersifat pelengkap.
- Dalam hal Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelengkap secara sukarela.
- Permodalan rendah (Undercapitalization).
- Dalam hal atas dasar penyalahgunaan aturan.
Penerapan Piercing the Corporate Veil kepada Holding Company
Bentuk tanggung jawab holding company dalam tindakan hukum anak perusahaan setelah diterapkannya Piercing the corporate veil adalah berbentuk ganti rugi setelah melebihi saham yang disetorkan oleh holding pada anak perusahaan. Tentunya berdasarkan atau dilihat dari kesalahan, atau mutlak. Dilihat dari segi perdata menyarankan ada syarat-syarat yang memenuhi unsur komponen kerugian, bukan karena alasan Force Majeure.
Saat terjadi kerugian-kerugian dapat diduga, maka ganti rugi dapat di eksekusi dalam memenuhi kewajiban terhadap tindakan hukum perusahaan. Setelah dilakukannya penerapan piercing the corporate veil yang kemudian diarahkan kepada jenis tanggung jawab perdata dan ditentukan dengan Fault on Liability atau strict liability, maka bentuk tanggung jawab dari holding terhadap tindakan hukum anak perusahannya adalah dapat berupa ganti rugi melebihi saham yang ditanamkan. Untuk menentukan bentuk tanggung jawab holding terhadap tindakan hukum anak perusahaannya. Jika didalam perdata Holding dapat ditembus dengan Piercing the corporate veil sedangkan dalam Pidana dapat ditembus dengan Vicarious Liability. Sedangkan untuk adiministrasi dapat dilihat dari teknisnya yang akan memberikan bentuk tanggung jawab berupa pencabutan izin atau pembekuan.
Contoh Putusan
Yurisprudensi Mahkamah Agung terkait piercing the corporate veil dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 89 PK/PDT/2010. Dalam putusan tersebut, MA menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Para Tergugat). Tergugat I adalah perusahaan induk dari Tergugat II yang memiliki hubungan hukum dengan Penggugat (Termohon Peninjauan Kembali) sebagai distributor Tergugat II.
Dengan putusan tersebut, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 923/Pdt.G/2005/PN.Jak.Sel yang telah diperkuat dalam tahap banding maupun kasasi tetap berlaku dan berkekuatan hukum tetap
Berdasarkan Putusan MA 89 PK/PDT/2010, holding company wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh anak perusahaan sepanjang memenuhi unsur:
- adanya keterkaitan induk dan anak perusahaan yang memungkinkan induk perusahaan menjalankan pengendalian terhadap anak perusahaan guna mendukung kepentingan perusahaan holding company sebagai satu kesatuan ekonomi;
- adanya kerugian yang ditanggung pihak ketiga;
- adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi.
Kasus kepailitan anak perusahaan pada perseroan terbatas akan mengacu pada doktrin separate legal personality, yakni adanya pertanggung jawaban terpisah dan terbatas sebagaimana tercermin dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT. Namun kondisi ini dibatasi oleh doktrin piercing the corporate veil yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT, artinya holding company tetap memiliki tanggung jawab secara renteng sebagai konsekuensi dari pailitnya anak perusahaan.
Holding company dapat menjadi debitur terkait pailitnya anak perusahaan dan turut secara tanggung renteng harus menanggung kewajiban anak perusahaan yang pailit pada para kreditur jika pada perutangan yang dibuat anak perusahaan terbukti adanya pengendalian holding company pada anak perusahaan yang pailit tersebut.
Dalam hal ini, adanya pengendalian oleh holding company saja tidak cukup untuk menimbulkan kewajiban tanggung renteng pada holding company atas pailitnya anak perusahaan, karena harus merujuk pula pada Pasal 3 ayat (2) UUPT dan Putusan MA 89 PK/PDT/2010.
Dengan berlakunya piercing the corporate veil dalam kasus pailitnya anak perusahaan, maka holding company akan menanggung konsekuensi atas pailitnya anak perusahaan, termasuk kemungkinan kewajiban penyelesaian pada para kreditur anak perusahaan yang pailit tersebut, kecuali diperjanjikan lain atau diatur lain oleh peraturan perundang-undangan.