NIKAH ONLINE MENURUT HUKUM ISLAM DAN IMPLIKASI PENCATATANNYA

 In Articles

Kenny Wiston
Laurences Aulina

Pendahuluan

Dikeluarkannya kebijakan pembatasan sosial berdampak tidak dapat dilakukannya sebagian besar aktifitas. Maka dari itu, sebagian besar dialihkan secara daring (online), salah satunya yaitu pernikahan. KUA menerapkan pendaftaran secara dari untuk pencatatan sipil di KUA.

Namun, bagaimana jika tak sekedar pendaftaran daring tetapi juga pernikahan yang dilakukan secara daring melalui panggilan video di berbagai layanan aplikasi. Apakah sah?

Syarat Sah Pernikahan

Suatu akad pernikahan apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya secara lengkap menurut yang telah ditentukan seperti menurut hukum Islam ataupun perundang-undangan, maka akad pernikahan yang demikian itu disebut akad pernikahan yang sah dan mempunyai implikasi hukum. Selain itu ada sebuah kesepakatan bahwa pernikahan itu dipandang sebagai sebuah akad.

Pada Pasal 14 KHI, untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

  1. Calon Suami;
  2. Calon Isteri;
  3. Wali nikah;
  4. Dua orang saksi dan;
  5. Ijab dan Kabul.

Ada beberapa persyaratan yang mesti terpenuhi untuk keabsahan suatu akad dalam pernikahan. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqh Islam Wa-Adillatuhu menjelaskan bahwa menurut kesepakatan para ulama, dalam shigat akad (ijab dan qabul) disyaratkan empat hal:

  1. Kesesuaian dan ketepatan kalimat ijab dengan qabul.
  2. Orang yang mengucapkan kalimat ijab tidak boleh menarik kembali ucapannya.
  3. Diselesaikan pada waktu akad.
  4. Dilakukan dalam satu majelis (ittihād al-majlis).

Berbicara keabsahan hukum nikah online tidak bisa terlepas dengan rukun dan syarat pernikahan dan erat kaitannya dengan makna substansial ittihād al-majelis (satu majelis) dalam suatu syarat akad nikah, dan hal ini sangat kompleks karena terdapat beragam sudut pandang dari para ulama mazhab berkaitan hal ini,diantaranya ada yang menginterpretasikan persyaratan ittihād almajelis adalah menyangkut keharusan kesinambungan waktu (zaman) antara ijab dan Kabul, bukan menyangkut kesatuan tempat (makan). Dan adapula yang menginterpretasikan bahwa bukan saja menyangkut keharusan kesinambungan waktu (zaman) antara ijab dan Kabul, tetapi juga mengandung persyaratan lain, yaitu al-mu’ayyanāh (berhadap-hadapan), yakni menyangkut kesatuan tempat (makan).

Dalam menganalisa dan menyimpulkan pendapat ulama imam mazhab, sebelumnya harus dipahami dulu tentang nikah online dan kaitannya dengan interpretasi ittihād al-majelis.

Nikah Online

Nikah online adalah suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab kabulnya dilakukan melalui keadaan konektivitas atau kegiatan yang terhubung dengan suatu jaringan atau sistem internet (online), jadi antara mempelai lelaki dengan mempelai perempuan, wali dan saksi itu tidak saling bertemu dan berkumpul dalam satu tempat, yang ada dan ditampilkan hanyalah bentuk visualisasi dari kedua belah pihak melalui bantuan alat elektronik seperti teleconference, webcam atau yang lainnya yang masih berkaitan dengan internet.

Nikah online dalam pengertian umum, ialah pernikahan yang komunikasinya dilakukan dengan bantuan komputer di kedua tempat, yang masing-masingnya dapat terhubung kepada file server atau network dan menggunakan media online sebagai alat bantunya. Media online sendiri ialah sebuah media yang berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet), didalamnya terdapat portal, website (situs web), radio-online, TV-online, pers online, mail-online, dan lain-lain, dengan karakteristik masing-masing sesuai dengan fasilitas yang memungkinkan user memanfaatkannya yang tentunya bersumber pada cacha server dan jaringan internet.

Nikah online sendiri jika dibandingkan dengan nikah biasa kalau dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara substansional terhadap ritual pernikahan antara ritual pernikahan via online dengan ritual pernikahan seperti biasanya. Hal yang membedakan nikah online dengan nikah biasa adalah pada esensi ittihād al-majelis yang erat kaitannya dengan tempat (makan) pada implementasi atau pelaksanaan akadnya, namun selebihnya semuanya sama.

Kalau dalam pernikahan biasa antara pihak laki-laki dan perempuan dapat bertemu, bertatap muka dan berbicara secara langsung, begitupun dengan nikah online. Pada penerapan atau pelaksanaannya nikah online ini menggunakan kekuatan dari perkembangan teknologi untuk membantu dalam terlaksananya nikah agar dapat menyampaikan gambar kondisi individu yang sedang melakukan interaksi (teleconference) sebagaimana mestinya. Teknologi video teleconference lebih mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat menampilkan gambar atau citra secara realtime melalui jaringan internet. Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan mengenai esensi ittihād al-majelis atau adanya pergeseran kebudayaan dalam hal melakukan akad. Dimana dalam nikah biasa akad dilakukan dengan muwājahah bil ma’rūf (berhadap-hadapan secara langsung) pada satu tempat. Namun, untuk nikah online ini muwājahah bil ma’rūf sama-sama dilakukan, tapi tidak dengan tempatnya, dimana nikah online dilakukan dengan terpisahnya jarak antara yang melangsungkan akad.

Putusan Pengadilan terkait Nikah Jarak Jauh

Dengan melihat apa yang tampak dari permasalah tersebut, dapatlah kita bandingkan kepada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tentang Pengesahan Praktik akad melaui media telepon. Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah memberikan keputusan dengan menetapkan pernikahan yang dilaksanakan itu sah. Penetapan itu didasarkan kepada mashlahah dharuriyat dalam rangka menjaga dan memelihara agama dan keturunan yang dianjurkan oleh syariat islam. Pernikahan telah dilaksanakan sesuai dengan syariat islam, hanya saja ijab qabulnya dilakukan melalui telepon. Ketika ijab qabul dilaksanakan hadirin dalam majelis itu semua menyaksikan dan mendengar, sebab suara yang ada di telepon dibesakan melalui pengeras suara. Putusan ini menuai kontroversi dan perselisihan pendapat antar ulama mengenai harusnya bersatu majelis bagi ijab kabul. Walaupun demikian, putusan ini merupakan salah satu sumber hukum atau disebut sebagai yurisprudensi.

Sebagai perbandingan, di Mesir, berdasarkan buku laporan pelatihan hakim Indonesia gelombang II di Kairo, 2003, pengertian satu majelis tidak harus duduk dalam satu tempat. Oleh karenanya, ijab kabul melalui telepon dipandang sah bila dapat dipastikan suara yang didengar adalah suara orang yang melakukan ijab kabul. Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat surat elektronik dibacakan oleh kuasanya yang sah di depan dua orang saksi nikah dan banyak orang.

Dalam perundang-undangan atau hukum positif yang ada di Indonesia, nikah online ini juga tak pernah disinggung sebelumnya, dan bahkan tidak ada peraturan yang mengaturnya, sehingga di Indonesia terkait hukum nikah online ini masih mengalami ke-absolut-an atau kekosongan hukum.

Pendapat Ulama Tentang Ittihad Al-Majelis

  1. Pendapat Ulama Mazhab Syafi’I Tentang Ittihād al-Majelis

Menurut ulama mazhab Syafi’iyah, salah satu syarat penting dalam suatu akad pernikahan adalah adanya kesinambungan (Muttaşhil) antara ijab dan qabul. Oleh karena itu, dalam madzhab yang memegang teguh pada Imam Syafi’i ini, pengucapan ijab dan kabul dalam satu tempat (makan) dan kurun waktu (zaman) yang sama adalah suatu keharusan. Hal ini berarti esensi dari pensyaratan akad ittihad al-majelis adalah menyangkut kesatuan tempat (makan), bukan semata-mata kesatuan ucapan (kalam) dari kedua belah pihak. Beranjak dari pemahaman inilah ulama Syafi’iyah menolak dan menganggap tidak sah suatu aqad (ijab qabul) dengan media tulisan (al-kitābah) yang dilakukan melalui surat, selain melalui perwakilan.Hal ini didasarkan pada disyaratkan kesegeraan dalam akad. Artinya, qabul harus dilakukan segera setelah ijab, secara langsung dan tidak terpisah (oleh perkataan lain). Alasan yang juga ikut mencuat adalah karena ijab dan qabul harus dilakukan dengan lafadz yang şharih, sedang suatu ucapan yang termuat dalam redaksi sebuah surat (kitābah) dianggap tidak jelas atau samar (kināyah). Sementara persoalan nikah tidak diperkenankan dengan sesuatu yang masih samaratau tidak jelas (kināyah).

  1. Pendapat Ulama Mazhab Hanafi Tentang Ittihād al-Majelis

Para ulama mazhab Hanafi menginterprestasikan tentang ittihād al-majelis bersatu majelis pada sebuah akad dalam pernikahan adalah menyangkut kesinambungan waktu (zaman) diantara ijab dan qabul, bukan menyangkut kesatuan tempat. Karena ijab dan qabul pada konteks ini harus dilaksanakan dalam kurun waktu yang terdapat dalam satu ritual akad nikah, bukan dilaksanakan pada dua kurun waktu yang terpisah, dalam artian bahwa ijab diikrarkan dalam satu ritual, lalu setelah ritual ijab bubar, qabul di ucapkan pula pada acara selanjutnya. Dalam hal yang disebutkan terakhir tadi, meski dua acara berkesinambungan secara terpisah bisa jadi dilaksanakan dalam kurun waktu yang sama, akan tetapi dikarenakan kesinambungan antara ijab dan qabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah. Meskipun tempatnya bersatu, namun jikalau dilaksanakan dalam kurun waktu yang tidak sama, dalam dua acara yang terpisah, maka kesinambungan diantara penerapan ijab dan penerapan qabul sudah tidak dapat diwujudkan, oleh sebab itu akad nikahnya tidak sah.

Substansi atau esensi dari sebuah persyaratan bersatu majelis menurut Hanafiyah ialah berkaitan keharusan kesinambungan waktu (zaman), bukan berkaitan kesatuan tempat (makan) selama belum terjadi hal-hal menolak dan memalingkan mereka dari majelis akad tersebut. berdasarkan hal itu, menurut Hanafiyah pengikraran ijab dan qabul lewat perkataan mulut (lisan) bukanlah salah satunya cara yang harus dijalani dalam pengikraran ijabnya.

Kesimpulan

Masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait keabsahan dari nikah online, dikarenakan salah satu syarat dari sah nya ijab qabul yaitu dilakukan dalam satu majelis (ittihād al-majlis).  Penulis berpendapat bahwa nikah online dengan menggunakan apps itu dianggap satu majelis di cyber space, dimana calon mempelai, saksi, wali semua hadir pada cyber space tersebut. Jika nikah dengan surat dan telefon saja dapat diterima maka seharusnya nikah online melalui apps harus lebih dapat diterima. Urgensi MUI untuk mengeluarkan fatwa terkait nikah online sangat diperlukan mengingat kondisi pembatasan sosial karena pandemi wabah covid-19 serta untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Justru bukan hanya dikarenakan adanya pandemi ini saja, bahkan kita harus siap pada era digital untuk menghadapi industri 4.0. Walaupun telah ada sebelumnya Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tentang Pengesahan Praktik akad melaui media telepon yang dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, namun masih diperlukan kepastian hukum yang lebih terperinci.

Recent Posts

Send this to a friend