EKSPLOITASI PEKERJA ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
Pooja Maulaya Putri
Eksploitasi pada anak menjadikan anak suatu objek untuk kepuasan atau keuntungan yang mengakibatkan perlakuan tidak adil dengan tak lain hak-hak anak direnggut. Demi menjaga hak seorang anak, Indonesia mempunyai landasan hukum yang mengatur. Aturan atas, larangan melakukan eksploitasi pada anak terdapat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”)
Eksploitasi bertujuan untuk memperoleh keuntungan komersial. Keuntungan komersial yang dimaksud ialah untuk merekap untuk memperoleh uang, barang, atau jasa untuk kebutuhan para pelaku eksploitasi. Definisi Kekerasan berdasarkan Pasal 15a UU Perlindungan Anak, yang berbunyi:
“Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”
Menurut pasal tersebut segala bentuk perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, penelantaran serta merenggut hak anak disebut Kekerasan.
Eksploitasi Anak menurut Peraturan Perundang-Undangan
Anak yang masih di bawah pengasuhan orang dewasa berhak mendapatkan tanggungan dan perlindungan dari eksploitasi ekonomi maupun sosial. Dalam Pasal 76I UU Perlindungan Anak, menjelaskan terkait eksploitasi anak, yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.”
Berdasarkan pasal tersebut, seseorang yang melakukan eksploitasi anak dengan cara apapun merupakan tindakan tak terpuji. Tindakan tersebut termasuk merenggut hak-hak anak. Hal ini juga berdampak pada perkembangan anak di lingkungan sosial dan masyarakat. Tindakan eksploitasi yang terjadi di masyarakat dapat berupa pengabaian, kekerasan, penelantaran dari orang tua/walinya. Sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan.
Pada pertemuan secara daring yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) terkait Eksploitasi Anak dalam Perspektif Hukum dan HAM di Indonesia, yaitu Negara memiliki kewenangan untuk melindungi, memenuhi, menghormati, dan menegakkan hak-hak anak. Sesuai dengan klasifikasi anak menurut peraturan perundang-undangan seperti anak dianggap belum matang secara fisik dan mental, maka kewajiban anak dialihkan kepada orang dewasa. Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa seorang anak dapat dipekerjakan apabila tidak melebihi batas waktu kerja yaitu 3 jam/hari.
Sanksi Terhadap Mempekerjakan Anak Dibawah Umur
Berdasarkan pihak yang disebut pada Pasal 76I UU Perlindungan Anak akan dikenakan sanksi yang terdapat pada Pasal 88 UU 35/2014, yang berbunyi:
“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Dalam hal aduan ataupun laporan harus terdapat bukti yang sah, seperti keterangan korban dan/atau kesaksian. Untuk aduan ataupun laporan dapat menghubungi Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional ataupun mengirim melalui email pengaduan@kpai.go.id dengan judul Pengaduan Kekerasan Pada Anak.
Upaya Hukum Terhadap Eksploitasi Anak
Di dalam hukum positif Indonesia, terdapat regulasi eksploitasi anak yang terkait terutama pada korban anak. Diversi adalah penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana diproses di luar peradilan pidana. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPA). Berdasarkan Pasal 1 angka 7 jo. Pasal 7 ayat 1 UU SPA, yang berbunyi:
Pasal 1 angka 7 UU SPA:
“Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.”
Pasal 7 ayat 1 UU SPA:
“Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi”.
Proses diversi dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan anak orang tua/walinya, korban, dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif adalah pendekataan dalam penyelesaian konflik hukum dengan menggelar mediasi antara korban dan terdakwa dan/atau melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.
Ketika orang tua anak terindikasi diadili berdasarkan hukum, pihak kepolisian menghubungi kerabat anak korban untuk sementara waktu hingga anak korban tersebut tumbuh dewasa dan mandiri. Jika tidak ada pihak kerabat anak yang tidak sanggup makan akan diambil alihkan kepada Dinas Sosial wilayah setempat atau lembaga-lembaga yang dipilih pemerintah.
Kesimpulan
Hak anak yang dibimbing oleh orang dewasa meliputi belajar, pengawasan dalam bergaul, dan tumbuh kembang. Akan tetapi, mereka yang mempekerjakan anak telah melanggar Pasal 76I UU 35/2014 yang menjelaskan bahwa tindakan orang dewasa yang mempekerjakan anak untuk mencukupi kebutuhan primer dikategorikan sebagai tindakan eksploitasi anak secara ekonomi. Secara tak langsung, eksploitasi anak bisa terjadi di lingkungan sekitar seperti pengabaian, kekerasan, dan merampas hak mereka sebagai anak. Pihak yang melanggar Undang-Undang tersebut akan dikenakan sanksi berupa dipidana penjara 10 (sepuluh) dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).