Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Untuk Pelanggaran HKI
Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan Surat Penetapan Sementara tentang pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran HKI dan penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran HKI. (*)Praktisi Hukum, Co-Founder pada Pulungan, Wiston & Partners 13
Begitulah bunyi ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang HKI kita mengenai Penetapan Sementara Pengadilan. Lebih tepatnya, ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 49-52 UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Pasal 125-128 UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 85-88 UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Pasal 67-70 UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Ketentuan tersebut disyaratkan oleh TRIPs Agreement yang untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Pasal 44-60. Indonesia telah meratifikasi TRIPs Agreement tersebut melalui UU No.7 Tahun 1994. Sebagai konsekuensinya, Undang-undang HKI kita harus menyesuaikan (comply) dengan ketentuan TRIPs tersebut.
Anton Piller Order
Cikal bakal penetapan sementara berawal dari celebrated case (Anton Piller v. Manufacturing Processes) yang terjadi di Inggris pada 1976. Saat itu, pengadilan setempat (High Court or Patents County Court) menerbitkan Penetapan Sementara (interlocutory injunction) berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon (Anton Piller), tanpa memberikan notice (temporary restraining order) kepada Termohon (Manufacturing Processes) untuk menginspeksi bangunan, gudang, kantor, rumah milik Termohon dan menyita, memeriksa pembukuan, membuat salinan (copy), melakukan pemotretan terhadap barang-barang yang diduga telah melanggar HKI milik Pemohon. Tentunya hal tersebut harus dilakukan oleh Pemohon bersama-sama dengan jurusita (bailiff-court officer).
Apabila Termohon tidak mematuhi atau tidak mengizinkan Pemohon untuk menginspeksi dan memeriksa atau tidak mematuhi/melawan penetapan (court order) tersebut, maka tindakannya itu sudah merupakan contempt of court.
Termohon juga diwajibkan untuk menyerahkan barang-barang hasil pelanggaran HKI tersebut apabila dibutuhkan, termasuk incriminating documents dan pembukuan, bahkan memberikan informasi tentang source of supply dan destination of stock.
Penetapan Sementara ini (interlocutory injunction dalam bentuk temporary restraining order) hanya diberikan oleh pengadilan apabila Pemohon dapat memberikan bukti yang kuat adanya dugaan pelanggaran HKI, menunjukkan kerugian, baik aktual maupun potensi yang diderita sangat serius, dan memberikan bukti valid (clear evidence) bahwa Termohon memiliki incriminating documents dan bukti lain dimana ada kekhawatiran barang bukti tersebut akan hilang atau dimusnahkan.
Adapun tujuan diberikannya Penetapan Sementara ini diberikan sebelum perkara diperiksa adalah untuk membantu Pemohon menghitung dan mengkalkulasikan kerugian�baik aktual maupun potensi–serta hilangnya keuntungan yang diharapkan pada saat meminta ganti rugi (damages) di dalam gugatan perdata atau pada saat perkara telah diperiks .
Selanjutnya, pengadilan akan memonitor sepak terjang Pemohon di dalam melaksanakan penetapan tersebut. Pemohon tidak boleh berlebihan didalam mengeksekusi atau melaksanakan Penetapan Sementara tersebut, misalnya, sampai menutup atau mematikan usaha (business) Termohon. Lebih jauh lagi, apabila, barang-barang atau dokumen dan pembukuan yang disita telah selesai diperiksa dan informasi yang dibutuhkan telah diperoleh, maka barang-barang tersebut harus diserahkan kembali kepada Termohon.
Di sisi lain, Termohon dapat pula mengajukan permohonan to discharge the order (membatalkan penetapan tersebut) dengan dalih Pemohon telah berlebihan dan tidak melaksanakan court order tersebut sebagaimana mestinya. Dikabulkan atau ditolaknya permohonan untuk membatalkan Penetapan Sementara tersebut adalah sepenuhnya wewenang Pengadilan. Artinya, Pengadilan pun dapat membatalkan Penetapan Sementara tersebut tanpa harus adanya permohonan dari Termohon apabila ternyata Pemohon berlebihan (excessive) di dalam mengeksekusi Penetapan Sementara tersebut, dan apabila informasi dan bukti yang dikumpulkan oleh Pemohon tidak menunjukkan adanya pelanggaran HKI.
Jika permohonan Termohon untuk membatalkan penetapan dikabulkan atau Penetapan Sementara Pengadilan tersebut dibatalkan dengan sendirinya oleh pengadilan, maka Termohon berhak mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya selama dikeluarkan Penetapan Sementara Pengadilan tersebut.
Penetapan Sementara di Indonesia
Interlocutory injunction diberikan sebelum perkara diperiksa. Interlocutory injunction ini dapat berupa preliminary injunction yaitu dimana setelah Termohon mendapat notice dan berkesempatan merespons, dan temporary restraining order yaitu tidak adanya notice atau pemberitahuan kepada Termohon.
Interlocutory injunction baik dalam bentuk preliminary injunction maupun temporary restraining order yang diberikan sebelum perkara diperiksa (before hearing) tidak dikenal di dalam sistem hukum kita. Sistem hukum yang demikian hanya lazim di negara-negara Anglo Saxon.
Hal ini tidak memungkinkan menurut Hukum Acara kita (HIR untuk Jawa dan Madura; RBG untuk daerah luar Jawa). Pengadilan tidak dapat menerbitkan Penetapan Sementara sebelum perkara diperiksa. Penetapan Sementara hanya dapat diberikan pada saat atau setelah perkara diperiksa dalam bentuk Putusan Sela atau Putusan Provisi. Dengan demikian gugatan harus diajukan terlebih dahulu dan perkara harus diperiksa terlebih dahulu. Putusan Provisi harus diminta oleh Penggugat di dalam petitum gugatan. Dengan kata lain, Putusan Provisi tersebut tidak dapat diberikan berdasarkan permohonan, tapi harus berdasarkan gugatan.
Demi TRIPs, Undang-undang HKI kita mencaplok habis ketentuan Penetapan Sementara sebagaimana yang dimaksud di dalam Anton Piller Order tersebut. Namun sayangnya ketentuan tersebut tidak jelas dan tidak rinci. Tidak disebutkan bagaimana proses pengajuannya di Pengadilan Niaga. Selain itu, juga tidak disebutkan syarat-syarat untuk mengajukan permohonan tersebut.
Lebih jauh lagi, masalah kelengkapan yang perlu dilampirkan, siapa yang akan melaksanakan penetapan sementara, cara untuk mengetahui bahwa Penetapan Sementara tersebut dilaksanakan, sanksi bagi Termohon jika tidak patuh pada penetapan sementara (UU Contempt of Court masih berbentuk Rancangan), masalah jangka waktu, serta berbagai persyaratan formil lainnya.
UU HKI kita sebagaimana tersebut di atas hanya mensyaratkan permohonan penetapan sementara secara tertulis harus disertai bukti kepemilikan HKI, bukti awal adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran HKI, keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian.
Selain itu, disyaratkan pula adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran HKI akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti. Pemohon juga diwajibkan untuk membayar uang jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank.
Namun demikian, bagaimana cara mengajukan permohonan Penetapan Sementara tersebut sampai sekarang tidak jelas. Belum ada satu pihak pun yang berani mencoba mengajukan permohonan tersebut ke Pengadilan Niaga karena mekanismenya belum jelas. Terlebih lagi, pemohon diwajibkan membayar uang jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank pula.
Politik Hukum
Perlu pengaturan lebih lanjut untuk dapat menerapkan Anton Piller Order di Indonesia, baik dalam bentuk Surat Edaran oleh Mahkamah Agung ataupun PP oleh Pemerintah yang mengatur secara rinci cara dan persyaratan formilnya. Memang UU HKI tidak menyebutkan bahwa tata cara pengajuan permohonan Penetapan Sementara akan diatur oleh ketentuan khusus lebih lanjut.
Namun, absennya pengaturan lebih lanjut tersebut mengakibatkan mandulnya Undang-undang HKI kita. Ketentuan Penetapan Sementara sebagaimana tertuang pada Pasal 49-52 UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Pasal 125-128 UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 85-88 UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Pasal 67-70 UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta hanya merupakan macan ompong.
Di satu sisi sangat menggembirakan WTO karena telah memenuhi persyaratan yang diatur TRIPs. Di sisi lain ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Apakah memang kondisi demikian yang dikehendaki? Apakah memang Indonesia haven pembajakan? Haruskah kita menunggu sampai benar-benar siap bersaing secara global? Pembaca budiman sekalian tidak perlu pusing menjawabnya. Biarlah Politik Hukum dan political will Pemerintah yang menjawab.