WAJIBKAH ISTRI  MENAFKAHI ANAK SETELAH BERCERAI?

 In Articles, Legal News & Events

Laurences Aulina

Kewajiban Menafkahi Anak

Regulasi kewajiban istri pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada Pasal 34 ayat (2) dan (3),

(2) Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

Kemudian diatur pula kewajiban orang tua pada Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi,

  • Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  • Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Kewajiban seorang istri bagi yang beragama islam diatur pada Kompilasi Hukum Islam di Pasal 83 ayat (2), “Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.”

Merujuk pada judul di atas, bagaimana kewajiban orang tua apabila sudah bercerai terutama istri? Kewajiban atas nafkah anak setelah orang tua bercerai merupakan kewajiban suami namun juga dapat menjadi kewajiban istri sesuai ketentuan pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”

Sebagaimana tertera pada ketentuan pasal tersebut, istri juga dapat memikul kewajiban nafkah anak ataupun membagi kewajiban tersebut antara mantan suami dan istri selama hal itu ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berbunyi,

  1. Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
  2. Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
  3. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
  4. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
  5. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya;dan
  6. Memperoleh Hak Anak lainnya.

Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014 adalah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan “pemisahan” antara lain pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar negeri untuk bekerja, anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.” Jadi, walaupun kedua orang tua telah bercerai, hal itu tidak memutuskan kewajiban orang tua untuk menafkahi anaknya karena hubungan tersebut tidak hilang.

Mengacu pada Kompilasi Hukum Islam akibat perceraian bagi yang beragama islam diatur pada Pasal 156, “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

  1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
  2. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
  3. Ayah;
  4. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
  5. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
  6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
  7. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
  8. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
  9. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
  10. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);
  11. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.”

 

Lalai Menafkahi/Menelantar Anak

Dalam hal istri lalai melaksanakan kewajibannya dapat dicabut kekuasaannya sesuai yang diatur pada Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan,

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

  1. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
  2. la berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Bagi yang beragama islam, ketentuan yang mengatur apabila istri tidak melakukan kewajibannya pada KHI diatur pada Pasal 84 yang dijelaskan bahwa,

  • Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
  • Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
  • Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah istri nusyuz.
  • Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Selain itu, dapat pula dijerat dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pada Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini dijelaskan bahwa, “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT diatur bahwa “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.” Orang yang melanggar pasal tersebut diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Adapun tindakan penelantaran anak sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Anak, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

Jika istri melalaikan kewajibannya tersebut, maka selain ancaman pidana tersebut di atas dapat pula diajukan gugatan perdata ke Pengadilan Agama bagi yang beragama islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lain. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 34 ayat (3) yang berbunyi, “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.”

 

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Send this to a friend