KEPASTIAN HUKUM HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN
Gianvilla Erry Chandra A.D.H., S.H.
Hukum waris merupakan salah satu dari bagian hukum perdata dan secara teknis kita lihat hukum waris merupakan hukum yang lebih berpihak pada hukum kekeluargaan. Adapun hukum waris adalah sangat erat hubungannya degan kehidupan kemanusiaan, sebab semua manusia akan menglami peristiwa yang dinamakan kematian, akibat dari kematian tersebut apakah timbul akibat hukum yang selanjutnya disebut sebagai peristiwa hukum. Peristiwa yang mana disebut sebagai pembagian waris yang mana dari kematian subyek hukum tersebut maka akan meninggalkan berupa hasil dari keringat subyek hukum tersebut dan harus memiiki pemilik, maka keluarganyalah sebagai pemilik sah atas harta tersebut.
Berdasarkan Wikipedia pengertian dari Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami, istri dan anaknya; atau ayah dan anaknya (duda), atau ibu dan anaknya (janda). Jika kita lihat bahwa dari hal di atas bahwa tentunya warisan yang akan jatuh harus kepada keluarga jika memang masih hidup sebagai golongan pertama.
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa terdapat dalam Pasal 1 yang menyebutkan/mendefinisikan tentang pengertian perkawinan adalah suatu perikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengen bermaksud untuk menjalin suatu hubungan perdata atau membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan Yang Maha Esa. jadi dapat disimpukan disini bahwa suatu perkawinan membentuak suatu ikatan perjanjian antara pasangan suami isteri yang harus bekerja sama dan bertanggung jawab terhadap segala utusan rumah tangganya agar dapat terbangunnya suatu rumah tangga yang kekal, bahagia dan damai dengan pada dasarnya untuk memperoleh keturunan yang sah meneruskan generasi-genesari keluarga mereka
Selain itu ketentuan Pasal 8 KUH Perdata menyebutkan :
Kedua calon suami istri, di hadapan Pegawai Catatan Sipil dan dengan kehadiran para saksi, harus menerangkan bahwa yang satu menerima yang lain sebagai suami atau istrinya, dan bahwa dengan ketulusan hati mereka akan memenuhi kewajiban mereka, yang oleh undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai suami istri.
Yang jika disimpulkan bahwa perkawinan harus dilakukan di hadapan Pejabat Kantor Catatan Sipil. Dalam Pasal 81 KUHPerdata disebutkan, bahwa perkawinan secara agama harus dilakukan setelah perkawinan di hadapan Kantor Catatan Sipil.
Dengan demikian, apabila perkawinan hanya dilakukan secara agama atau secara siri dan tidak dilakukan di hadapan Pejabat Catatan Sipil, maka konsekuensi hukumnya dari berlakunya Pasal 80 jo 81 KUHPerdata di atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau antara suami/ayah dengan anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut), tidak akan ada hubungan-hubungan perdata. Hubungan Perdata yang dimaksud adalah antara lain hubungan pewarisan antara suami dan istrinya dan/atau suami/ayah dengan anak-anaknya serta keluarganya, apabila di kemudian hari terdapat salah seorang yang meninggal dunia. Lalu bagaimana kepastian hukum hak waris anak dari perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil?
Undang-Undang Perkawinan (UUP)
Seperti yang kita tahu bahwa perkawinan yang sah adalah suatu perkawinan yang disahkan oleh Negara atau perkawinan yang dicatatkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menurut pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.
Disini pencatatan perkawinan pada dasarnya berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang sah untuk memperkarakan persoalan Internal Problem atau permasalah yang terjadi di dalam suatu hubungan perdata rumah tangga yang menimpulkan peristiwa hukum di Pengadilan Agama. Dan juga urusan-urusan yag menyangkut administratif suami-isteri dan juga anak.
Jika kita lihat berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disini suatu pencatan perkawinan merupakan sebagai suatu peritiwa yang penting, bukan suatu peristiwa hukum. Namun jika dipandang secara hukum agama pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat butki yang sah menyangkut sahnya perkawinan, karena pada dasarnya akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti namun bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan suatu sah atau tidak sahnya perkawinan adalah agama itu sendiri.
Dalam hal ini ada yang menjadi masalah yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan. Memang masalah perkawinan yang tidak dicatatkan sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengetahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya perkawinan yang tidak dicatatkan hanya dilakukan oleh seorang ustad atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (Kantor Urusan Agama bagi yang muslim) atau KCS (Kantor Catatan Sipil bagi yang non muslim) untuk dicatat.
Abdurrahman dan Syahrani (1986: 16) menyatakan bahwa:
“Jika suatu perkawinan tidak dicatat, maka walaupun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama atau kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula akibat yang timbul dari perkawinan itu, sedangkan salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk mendapatkan anak dan akibat dari perkawinan adalah tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan.”
Di dalam Undang-undang 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. Terdapat kata “tidak mempunyai kekuatan hukum” sebagaimana kutipan dalam Pasal 6 ayat (2) KHI, sini berdasarkan pendapat Anshary (2014: 133), dijelaskan bahwa perkawinan tersebut dinyatakan tidak pernah ada (never existed), dan lebih jauh lagi perkawinan semacam itu tidak dilindungi oleh hukum (no legal protection). Hak-hak dari berbagai pihak dalam perkawinan akan dijamin pelaksanannya melalui pencatatan perkawinan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Seorang isteri yang ingin menuntut nafkah lahir harus dilaksanakan oleh seorang suami atas dasar tuntutan dari undang-undang, hak waris anak terhadap harta pewaris tidak akan hilang, walaupun pewaris tidak menginginkan harta tersebut jatuh ke tangan anaknya, dan hal ini merupakan perlindungan hukum terhadap para pihak dari perkawinan sah.
Disini pencatatan perkawinan adalah menjadi salah satu sistem yang sangat penting disuatu Negara karena atau hukum positif yang ada di Indonesia karna sistem tersebut dapat menentukan hasil keturunan dari sebuah rumah tangga diangga sah atau tidak. Keturunan tentunya sah didasarkan oleh perakawinan yang dilakukan secara sah dan sehingga keturunan yang sah adalah hasil dari perkawinan yang sah dan keturunan yang tidak sah dihasilakn dari pada perkawinan yang tidak sah.
Ada berbagai alasan terjadinya anak luar kawin, yang menurut Witanto (2012: 146-147), dikatakan bahwa berdasarkan sebab atau latar belakangnya, anak luar kawin terjadi karena:
- Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi wanita itu tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria yang menyetubuhinya dan tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria atau wanita lain;
- Anak yang lahir dari seorang wanita, kelahiran tersebut diketahui dan dikehendaki oleh salah satu atau ibu bapaknya, hanya saja salah satu atau kedua orang tuanya itu masih terkait dengan perkawinan yang lain;
- Anak yang lahir dari seorang wanita, tetapi pria yang menghamilinya itu tidak diketahui, misalnya akibat korban perkosaan;
- Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah perceraian, tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Ada kemungkinan anak di luar kawin ini dapat diterima oleh keluarga kedua belah pihak secara wajar, jika wanita yang melahirkan itu kawin dengan pria yang menyetubuhinya;
- Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih dari 300 hari, anak tersebut tidak diakui oleh suaminya sebagai anak yang sah;
- Anak yang lahir dari seorang wanita, padahal agama yang mereka peluk menentukan lain, misalnya dalam agama Katholik tidak mengenal adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia kawin lagi dan melahirkan anak. Anak tersebut dianggap anak di luar kawin;
- Anak yang lahir dari seorang wanita, sedangkan pada mereka berlaku ketentuan negara melarang mengadakan perkawinan misalnya Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) tidak mendapat ijin dari Kedutaan Besar untuk mengadakan perkawinan, karena salah satunya dari mereka telah mempunyai isteri, tetapi mereka tetap campur dan melahirkan anak tersebut anak ini dinamakan juga anak luar kawin;
- Anak yang dilahirkan dari seorang wanita, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mengetahui kedua orang tuanya;
- Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat di Kantor Catatan Sipil dan/atau Kantor Urusan Agama; atau
- Anak yang lahir dari perkawinan secara adat tidak dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan, serta tidak didaftar di Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama.
Dapat dilihat pada poin nomor 9 yang menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat dikantor catatan sipil dan/atau Kantor Urusan Agama dianggap sebagai anak diluar kawin, maka suatu perkawinan sangat lah penting untuk didaftarkan sebagai dasar hukum perlidungan terhadap hubungan dalam suatu rumah tangga
Putusan Mahkamah Agung Konstitusi No 46/PPU-VIII/2010
Putusan MK No 46/PPU-VIII/2010 mengenai status hukum anak luar kawin yang mana disini putusan ini adalah putusan yang mengatur tentang hak-hak dari pada Anak Luar Kawin salah satuya yaitu mengenai hak waris, dalam putusan tersebut menegaskan terhadap anak luar kawin yang sebelumya hanya mempunyai hubungan terhadap ibunya saja atas putusan ini maka anak luar kawin juga memiliki hubungan keperdataan terhadap ayah biologisnya dan oleh karena itu Anak Luar Kawin secara hukum dapat memperoleh hak waris yang berasal dari ayah biologisnya..
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No 46/PPU-VIII/2010 yang mana putusan ini mengabulkan seluruh uji materill terhadap pasal 43 Ayat 1 UU Perkawinan yang menyatakan sebelumnya bahwa seorang anak luar kawin hanya memiki hubungan terhadap ibunya saja Menjadi anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Tidak hanya kepada ibunya saja.
Itsbat Nikah
Berdasarkan keterangan di atas bahwa suatu keturunan yang sah berdasarkan perkawinan yang sah dan keturunan yang tidak sah berdasarkan perkawinan yang tidak sah maka disini dapat disadarin bahwa suatu pencatatan perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting demi terciptanya kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap perkawinan tersebut, selain itu juga anak yang disini memiliki peran penting terhadap pernikahan yang mana dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan. Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak dalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak ada hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki disini ketika suatu perkawinan yang tidak sah maka hak waris terhadap anak tersebut tidak akan terlindungi oleh hukum dan harta tersebut dapat disewenang-wenangkan oleh orang lain jikapun kedua orang tuanya telah meninggal.
Adapun jalan keluar terhadap peritiwa diatas salah satunya adalah dengan melakukan Itsbat Nikah. Disini Itsbat nikah mempunyai arti sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yaitu :
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Selanjutnya dalam ayat (3) menyebutkan mengenai syarat-syarat pengajuan terhadap Itsbat Nikah yaitu :
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
Jadi dapat kita simpukan bahwa Itsbat Nikah merupakan suatu ketetapan yang dibuat berdasarkan keyakinan dalam ikatan pertalian huungan antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia berdasarkan ketentuan yang Maha Esa. Proses pengajuan permohonan Itsbat nikah bagi yang beragama Islam, namun tidak dapat membuktikan terjadinya pernikahan dengan Akta Nikah, dapat mengajukan permohonannya (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama.
Kesimpulan
Menurut penulis jadi pada dasarnya suatu pernikahan tentunya lebih baik dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia dikarenakan dimana suatu perkawinan adalah satu ikatan antara subyek hukum satu sama lain dimana hubungan tersebut adalah termasuk hubungan hukum yang jika dapat dikatakan bahwa suatu hubungan hukum dapat menimbulkan suatu peristiwa hukum maka dari itu bahwa suatu hubungan hukum tentunya memerlukan perlindungan hukum tanpa terkecuali.
Namun bagi perkawinan yang tidak terdaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat menurut undang-undang yang berlaku, dapat melakukan Itsbat nikah walaupun ada putusan Mahkamah Agung Agung yang melindungi hak waris anak luar kawin namun itsbat nikah merupakan satu sistem pasti yang mempermudah masyarakat jika ada timbul permasalahan lain kedepannya, Itsbat nikah merupakan suatu sistem yang diselenggarakan oleh pengadilan agama yang mana itsbat nikah merupakan suatu sistem yang dapa tmencapai suatu kepastian hukum dalam hak waris sang anak dalam pernikahan yang tidak terdaftar maka melalui jalur Itsbat Nikah maka maupun sang anak suami maupun istri dapat terjamin hak warisnya dan mendapat akta nikah serta diakui dan mendapat perlindungan hukum oleh Negara terhadap perkawinan mereka.
Saran
Terutama kepada masyarakat tentang betapa pentingnya untuk mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama, selain syarat tertib administrasi perkawinan dan menentukanya sah di mata hukum Negara, juga disebabkan perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut memiliki dampak terhadap keabsahan perkawinan, juga menimbulkan kerugian bagi isteri dan anak yang dilahirkan dalam mendapatkan hak dan kewajiban apabila suami/ayah meninggal dunia.
Dan walaupun putusan Mahkamah Agung Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah mengatur bahwa anak luar kawin dapat memiliki hak waris dari ayah bilogisnya,namun masyarakat lebih baik untuk mencatatkan perkawinannya, agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada pasangan suami-isteri tidak hanya bagi para pihak, namun juga memberikan perlindungan hukum bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan. selain itu disarankan kepada pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terutama masyarakat pedalam yang mana mereka kebanyakan tidak mengenal yang namanya akta maupun Pencatatan Perkawinan.
Selain itu terhadap perkawinan dari awalnya dicatatkan di Kantor Urusan Agama, apabila perkawinan tersebut tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku, apabila perkawinan tersebut telah terlanjur tidak mencatatkan perkawinannya sebaiknya dikemudian hari agar tidak terjadinya permasalahan hukum perkawinan yang tidak dicatatkan disarankan maka selagi suami-isteri masih hidup sebaiknya perkawinan tersebut diajukan itsbat nikah (pengesahan kembali perkawinan) ke Pengadilan Agama, dan bagi Hakim Pengadilan Agama sebelum melakukan itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan), lebih ketat dalam menetapkan syarat-syaratnya dan lebih teliti untuk memeriksa dokumen yang diajukan oleh pihak-pihak yang mengajukan itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan).