MAHKAMAH KONSTITUSI IZINKAN PERNIKAHAN DALAM SATU PERUSAHAAN
Kasus Posisi:
- Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
4. Pekerja/buruh menikah;
5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
10.Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
- Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
- Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
- Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, pada tanggal 30 Januari 2017 Ir. H. Jhoni Boetja, S.E.; Edy Supriyanto Saputro, Amd; Ir. Airtas Asnawi; Saiful; Amidi Susanto; Taufan, S.E.; Muhammad Yunus dan Yekti Kurniasih, Amd (“Para Pemohon”) mengajukan permohonan untuk menguji Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
- Petitum Para Pemohon adalah sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan Pemohon;
- Menyatakan: Membatalkan sebagian Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi:
- Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
- Perusahaan yang mempersyaratkan pekerja/buruh tidak boleh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan dan menjadikan hal itu sebagai dasar dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan, tidak sejalan dengan norma dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, dan Pasal 23 ayat (1) Deklarasi HAM Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional. Sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
- Adanya frase “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat menimbulkan potensi besar bahwa pengusaha akan melarang perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan yang sama sehingga dapat menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja, yang hal itu bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
- Pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan.
- Mahkamah Konstitusi memberi putusan sebagai berikut:
Mengadili,
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Catatan:
Abstrak hukum yang dapat diangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah sebagai berikut:
- Pembatasan sebagaimana termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan Demikian pula tidak ada norma-norma moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis yang terganggu oleh adanya fakta bahwa pekerja/buruh dalam satu perusahaan memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan.
- Kekhawatiran akan terjadinya hal-hal negatif di lingkungan perusahaan dan potensi timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan, hal tersebut dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja/buruh yang tinggi sehingga terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan.
- Doktrin pacta sunt servanda pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”, tidak selalu relevan untuk diterapkan tanpa memperhatikan keseimbangan kedudukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut ketika persetujuan itu dibuat. Dalam kaitan ini, telah terang kiranya bahwa antara pengusaha dan pekerja/buruh berada dalam posisi yang tidak seimbang. Sebab pekerja/buruh adalah pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Dengan adanya posisi yang tidak seimbang tersebut, maka dalam hal ini filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi.
- Setiap pengusaha/perusahaan tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja atas dasar pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, walaupun dalam perjanjian kerja/perjanjian kerja bersama memuat ketentuan yang mensyaratkan sebaliknya.
Akbar Perdana
=========================
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Desember 2017.