PENUNDAAN KONTRAK AKIBAT PANDEMI COVID-19

 In Articles, Legal News & Events

Laurences Aulina

Pandemi virus corona menimbulkan kewaspadaan di masyarakat. Tingkat penularan yang sangat cepat membuat sejumlah negara dan pemerintahan mengambil kebijakan untuk mengantisipasi penularan yang lebih meluas. Kebijakan lockdown dan/atau social distancing berdampak sangat besar pada korporasi baik nasional maupun global. Banyak perusahaan yang tidak dapat melaksanakan prestasinya. Hal ini harus tertunda akibat penyebaran wabah Covid-19.

Bagi pihak yang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian atau suatu perbuatan ingkar janji dikategorikan sebagai wanprestasi. Namun, perlu diketahui bahwa apabila suatu keadaan memaksa yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, maka debitur tidak harus menanggung resiko dan tidak dapat dipersalahkan serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat atau disebut dengan force majeur/keadaan memaksa. Lalu, apakah pandemi covid-19  dapat disebut sebagai force majeur dan memenuhi unsur-unsur dari force majeur atau kahar?

Force majeur merupakan suatu halangan dimana salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Keadaan memaksa diatur pada Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

serta Pasal 1245 KUHPerdata, “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dapat ditentukan unsur-unsur keadaan memaksa meliputi :

  • Peristiwa yang tidak terduga
  • Tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur
  • Tidak ada itikad buruk dari debitur
  • Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur / di luar kesalahan debitur
  • Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi
  • Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan
  • Keadaan di luar kesalahan debitur
  • Debitur tidak gagal berprestasi
  • Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapapun
  • Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian

Berdasarkan yurisprudensi dan putusan Mahkamah Agung mengenai ruang lingkup dari jenis peristiwa force majeure meliputi:

  1. Resiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Yang Maha Besar: disambar halilintar, kebakaran, dirampas tentara Jepang dalam masa perang.
  2. Act of God, tindakan administratif penguasa, perintah dari yang berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang menentukan atau mengikat, suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian
  3. Peraturan-peraturan pemerintah. Sebagai contoh, baik PN maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh Super Radio Company NV sebagai Tergugat tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeur karena apabila tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau karena keluarnya peraturan-peraturan pemerintah (KPUI) tentang larangan untuk mengimpor lebih dari satu merek motor maka untuk memenuhi kewajibannya terhadap penggugat, ia harus berusaha mendapatkan sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal tidak dengan cara melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa tergugat Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya.
  4. Kecelakaan di laut, misalnya kapal tenggelam karena ombak besar memukul lambung kapal
  5. Keadaan darurat. situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi.

 

Bila diperbandingkan dengan lingkup force majeur yang diatur di dalam KUH Perdata maka ada perkembangan yang terjadi. Lingkup force majeur tidak lagi terbatas pada peristiwa alam atau act of God, dan hilangnya objek yang diperjanjikan, tetapi sudah meluas kepada tindakan administratif penguasa, kondisi politik seperti perang. Sebetulnya agak sulit secara umum menjadikan covid-19 sebagai dasar untuk menerima argumen force majeur. Tapi hal ini dapat berubah apabila munculnya keputusan atau kebijakan yang memuat ketentuan yang dapat menghambat pelaksanaan ketentuan suatu perikatan.

Terdapat dua pilihan kemungkinan yaitu reschedule (penjadwalan kembali pelaksanaan prestasi) ataupun frustrated (menganggap obyek yang diperjanjikan musnah). Meskipun para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak memuat kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force majeur, pembebasan kewajiban itu tetap berlaku sesuai ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata. Pasal ini sifatnya melengkapi perjanjian yaitu sepanjang para pihak tidak mengatur sebaliknya, maka ketentuan ini akan berlaku. Dalam hal di dalam perjanjiannya mengatur pandemi bukan bagian dari force majeur , maka harus berlaku demikian. Akan tetapi, jika diperjanjikan para pihak, maka pandemi dianggap sebagai force majeur.

Dapat dilihat pula implikasi dari force majeur dikenal pula:

  1. Ketidakmungkinan (impossibility)

Ketidakmungkinan pelaksanaan kontrak adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mungkin lagi melaksanakan kontraknya karena kejadian diluar tanggung jawabnya. Misalnya kontrak untuk menjual sebuah rumah , tetapi rumah tersebut hangus terbakar api sebelum diserahkan kepada pihak pembeli.

  1. Ketidakpraktisan (impracticability)

Sementara itu, terdapat juga apa yang disebut dengan “ketidakpraktisan” dalam melaksanakan kontrak. Maksudnya adalah terjadinya peristiwa juga tanpa kesalahan dari para pihak, peristiwa tersebut sedemikian rupa, dimana dengan peristiwa tersebut para pihak sebenarnya secara teoritis masih mungkin melakukan prestasinya, tetapi secara praktis terjadi sedemikian rupa, sehingga kalaupun dilaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut, akan memerlukan pengorbanan yang besar dari segi biaya, waktu atau pengorbanan lainnya. Dengan demikian, berbeda dengan ketidakmungkinan melaksanakan kontrak, dimana kontrak sama sekali tidak mungkin dilanjutkan, pada ketidakpraktisan pelaksanaan kontrak ini, kontrak masih mungkin dilaksanakan, tetapi sudah menjadi tidak praktis jika terus dipaksakan.

  1. Frustasi (frustration)

Yang dimaksud dengan fristasi disini adalah frustasi terhadap maksud dari kontrak. Yakni, dalam hal ini terjadi peristiwa yang tidak dipertanggung jawabkan kepada salah satu pihak, kejadian mana mengakibatkan tidak mungkin lagi dicapainya tujuan dibuatnya kontrak tersebut, sungguhpun sebenarnya para pihak masih mungkin melaksanakan kontrak tersebut. Karena tujuan dari kontrak tersebut tidak mungkin tercapai lagi, sehingga dengan demikian kontrak tersebut dalam keadaan frustasi.

Jika dilihat dari segi posisi kasus Covid-19, kasus ini memenuhi unsur ketidakpraktisan bahwa para pihak masih bisa melakukan prestasinya, namun sulit karena takut tertular virus. Jadi bukan ketidakmungkinan.

Bila force majeur bisa menjadi alasan pembebasan seseorang dari kewajiban menunaikan prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan, tentu kerugian dari berbagai sektor bisnis tak dapat dielakkan. Begitu pula halnya dengan pandemi corona yang telah disepakati sebagai bencana diluar kehendak dan kemampuan manusia. Konteks penanggungan rugi dalam kondisi pandemi dapat dikategorikan dalam force majeur.

 

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Send this to a friend