Dapatkah Putusnya Perkawinan / Perceraian Dilakukan Tanpa Adanya Putusan  Pengadilan?

 In Articles

Reza Putra Rahmaditya, S.H.

Pada dewasa ini, setiap hiruk pikuk rumah tangga tidak selalu berjalan dengan mulus sesuai dengan harapan banyak orang seperti memiliki hubungan sebagai sepasang Suami Istri sampai maut memisahkan. Perceraian hendaknya menjadi salah satu pilihan terbaik dari yang terburuk bagi pasangan Suami Istri apabila hubungan tersebut tak dapat dipertahankan, banyaknya di antara mereka memiliki untuk menyudahi hubungan tersebut untuk menghindari adanya saling menyakiti satu sama lain, lalu muncul pertanyaan di kalangan Masyarakat apakah suatu perceraian sah dimata hukum apabila tidak adanya proses perceraian di depan sidang Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri?

Peraturan terkait dengan Perceraian pada umumnya terdapat pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimana Undang-Undang tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terakhir terdapat pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor. 1 Tahun 1974 (Selanjutnya disebut sebagai “UU-Perkawinan”), Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut sebagai “PP No. 9 Tahun 1975”), dan bagi yang beragama Islam merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam (Selanjutnya disebut sebagai “KHI”).

Adapun dalam Pasal 39 UU-Perkawinan maupun Pasal 115 KHI mengatur terkait dengan ketentuan mengenai Perceraian / Putusnya Perkawinan sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:

Pasal 39 UU-Perkawinan Pasal 115 KHI
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

 

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.  
3. Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan itu sendiri.

 

 

Bila melihat penjelasan di atas, baik dalam Pasal 39 ayat (1) maupun Pasal 115 KHI maka Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan di depan sidang Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. Setelah itu, mengenai Gugatan cerai akan dijelaskan bagi yang beragama Islam dan agama selain Islam di bawah ini:

A. Gugatan Cerai Agama Selain Islam:

Bagi Pasangan Suami Istri yang akan bercerai diluar dari Agama Islam, maka aturan yang mengaturnya terdapat pada UU-Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975, Gugatan cerai yang dikenal dalam aturan tersebut adalah Gugatan cerai diajukan oleh Suami atau Istri atau Kuasanya ke Pengadilan Negeri dimana tempat / domisili hukum meliputi kediaman tergugat. Adapun aturan tersebut di atur dalam Pasal 40 UU-Perkawinan dan Pasal 20 PP No. 9 Tahun 1975 yang akan dijelaskan di bawah ini.

Pasal 40 UU-Perkawinan : Pasal 20 PP No. 9 Tahun 1975
1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

 

 

1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2. Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

 

2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
  3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

B Gugatan Cerai dan Talak Menurut Agama Islam:

Bagi Pasangan Suami Istri yang beragama Islam, aturan mengenai Perceraian / Putusnya Perkawinan haruslah tunduk pada Hukum Islam yang ada dalam KHI, adanya perbedaan antara UU-Perkawinan maupun PP No. 9 Tahun 1975 dengan KHI terutama pada gugatan cerai. Dalam UU-Perkawinan ataupun PP No. 9 Tahun 1975 menyatakan gugatan cerai diajukan oleh suami atau isteri, akan tetapi pengertian dari Gugatan Cerai dalam KHI adalah gugatan yang diajukan Istri kepada Suami sebagaimana dalam Pasal 132 ayat (1) KHI. Lalu dalam KHI juga mengatur terkait dengan pengertian Gugatan Cerai Talak yaitu Gugatan yang diajukan oleh Suami kepada Istri baik melalui permohonan secara lisan atau tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman / domisili hukum dari Istri sebagaimana diatur dalam Pasal 129 KHI, adapun Pasal 132 ayat (1) dan Pasal 129 KHI akan dijelaskan di bawah ini:

Pasal 132 ayat (1) KHI Pasal 129 KHI
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

 

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Kesimpulan:

Kesimpulan dari Pembahasan di atas menyatakan baik dilihat dari UU-Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, ataupun di dalam KHI, perceraian hanya sah apabila melalui proses persidangan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Jelas kiranya bahwa sekalipun Surat Kawin Sah, akan tetapi bila perceraian sepasang suami istri tersebut haruslah dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama maupun di depan sidang Pengadilan Negeri supaya perceraian tersebut sah di mata hukum.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Send this to a friend