ESENSI DELIK ADUAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK TERHADAP JABATAN POLITIK DAN PRIBADI

 In Articles

Gianvilla Erry Chandra A.D.H.M., S.H. M.Kn.

Hukum pidana merupakan suatu sistem hukum yang mengatur terutama pada tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak kejahatan serta ketersediaan sanksi-sanksi dan hukuman terhadap tindak kejahatan tersebut. Hukum pidana sendiri dibukukan dalam sebuah kitab yang biasanya kita sebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Dalam hukum pidana sendiri dikenal dengan adanya dua delik yaitu delik aduan dan delik biasa, kedua delik ini acap disalah presepsikan oleh khalayak dan juga tokoh-tokoh politik, terutama delik aduan yang mana delik ini perlu peran utama dari si pemain utama. Adapun contohnya kasus yang masih hangat baru-baru ini yaitu seorang pengamat politik yang diduga telah melakukan pencemaran nama baik terhadap pejabat politik sehingga pengamat tersebut dilaporkan oleh pihak ketiga yang secara mandiri tanpa kuasa dari pejabat politik terkait. Maka, timbul tanda tanya apakah dugaan tindakan pencemaran nama baik yang dikategorikan sebagai delik aduan dapat dilakukan oleh pihak ketiga dan bukan prinsipal.

1. PENGERTIAN SERTA KRITERIA DELIK ADUAN DAN DELIK BIASA

Sebelum kepada inti pembahasan kita perlu mengetahui dulu apa itu delik aduan dan apa itu delik biasa. Delik aduan yang dikenal sebagai delik privat merupakan jenis tindak pidana yang hanya dapat diproses atau diusut jika ada pengaduan atau pelaporan resmi dari pihak yang dirugikan atau prinsipal. Maka dalam hal ini petugas berwenang atau instansi kepolisian tidak dapat mengambil tindakan hukum kecuali terdapat laporan dari pihak yang dirugikan oleh tindak pidana tersebut. Ketentuannya dapat ditemui di dalam Pasal 24 ayat (1) KUHP.

Tindakan yang termasuk dalam kategori delik aduan adalah pencemaran nama baik Pasal 310 KUHP, penganiayaan ringan Pasal 352 ayat (1) KUHP, pencurian ringan  Pasal 364 KUHP dan beberapa jenis-jenis penipuan berdasarkan KUHP. Bahwa proses penuntutan dalam delik ini akan dimulai jika pihak yang dirugikan telah mengajukan laporan resmi kepada kepolisian ataupun otoritas hukum yang berwenang. Perlu digaris bawahi bahwa selama proses penuntutan pihak yang dirugikan diberi hak untuk melanjutkan proses penuntutan atau tidak, jika tidak maka pihak berwenang tidak berhak untuk melanjutkan kasus tersebut.

Lain halnya terhadap delik biasa atau dikenal sebagai delik publik yang memiliki pengertian terbalik dari pada delik aduan yaitu suatu jenis tindak pidana yang mana proses atau pengusutannya dapat dilakukan tanpa adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan, dalam hal ini pihak berwenang memegang kuasa penuh untuk melakukan penyelidikan dan menuntut pelaku tanpa kontrol dari pihak lain.

Adapun contoh kasus delik biasa lebih mencakup kepada tindak pidana yang dianggap lebih serius, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, narkotika dan kejahatan lain yang dianggap KUHP memiliki dampak besar terhadap masyarakat.

2. PENCEMARAN NAMA BAIK TERHADAP PEJABAT POLITIK DAN PRIBADI

Perlu diketahui bahwa jabatan politik dan pribadi bukan merupakan satu kesatuan yang sama, melainkan dua hal yang berbeda. Jabatan politik merupakan fungsi kenegaraan. Adapun jenis-jenis jabatan politik terdapat di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sedangkan pribadi merupakan subjek hukum dalam suatu kenegaraan yaitu manusia atau badan, atau dalam arti lain menurut Subekti pribadi manusia adalah pembawa hak atau subjek dalam hukum.

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah dapatkah tindak pidana pencemaran nama baik diterapkan terhadap seseorang yang melakukan kritik dan terindikasi sebagai tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap pejabat publik?

Di dalam KUHP lama terdapat pasal penghinaan terhadap pejabat publik yaitu di Pasal 207 KUHP yang menyatakan :

Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Adapun aturan dalam KUHP terbaru menambahan beberapa aturan khusus atas tindakan penghinaan terhadap pejabat publik yaitu mengatur ketentuan penghinaan terhadap pejabat publik yaitu Pasal 240 ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Dan Pasal 241 ayat (1) KUHP:

“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.”

Selain itu pencemaran nama baik terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada KUHP terbaru yaitu Pasal 218 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Maka jawaban yang tepat dari pertanyaan di atas adalah seseorang yang melakukan kritik dan terindikasi melakukan pencemaran nama baik terhadap seorang pejabat politik/pejabat publik dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan dapat dilaporkan kepihak berwenang berdasarkan KUHP lama maupun KUHP terbaru ketika sudah melawati masa transisi.

Adapun pencemaran nama baik terhadap diri pribadi dan bukan sebagai pejabat politik atau tidak dalam menjalankan jabatannya secara umum akan dikenakan Pasal 310 KUHP lama dan Pasal 433 KUHP terbaru yaitu mengenai tindak pidana penghinaan.

3. DELIK ADUAN DALAM PENCEMARAN NAMA BAIK PEJABAT POLITIK

Dewasa ini, terdapat kasus seorang pengamat politik yang melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pejabat politik tertentu, adapun kritik tersebut mendapat tanggapan keras dari pihak ketiga yang menggangap kritikan tersebut merupakan suatu dugaan tindakan pencemaran nama baik terhadap pribadi pejabat politik terkait, sehingga terjadi tuntutan ke pihak berwenang untuk mewakili pribadi pihak yang merasa dirugikan tanpa kuasa apapun dari pihak yang dirugikan.

Adapun Pencemaran nama baik merupakan tindak pidana yang diatur di dalam KUHP Pasal 310 ayat (1) KUHP lama yang berbunyi :

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Apakah tindakan pelaporan oleh pihak ketiga terhadap kasus delik aduan tersebut sah?

Jika kita berfokus terhadap tindakan pelaporannya tentu sah-sah saja karena setiap warga negara memiliki hak kontitusionalnya. Adapun ketentuan tersebut tertuang di dalam Pasal 108 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyebutkan :

  • Mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik, baik lisan maupun tertulis;
  • mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau hak milik wajib seketika itu juga melapor kepada penyelidik atau penyidik;
  • merupakan pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melapor kepada penyelidik atau penyidik.

Kesimpulan pasal di atas jelas bahwa setiap warga negara berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan baik lisan maupun tertulis kepada otoritas berwenang dengan maksud-maksud yang telah ditentukan.

Namun apakah tepat berdasarkan hukum tertulis?

Maka disini jelas secara hukum tertulis tidak tepat. Jika kita kaji bahwa kasus pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang mana sebelumnya secara terperinci dijelaskan bahwa perlu ada laporan resmi dari pihak yang merasa dirugikan dan bukan laporan dari pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan dalam kasus tersebut (Pasal 24 ayat 1 KUHP). Lain hal jika pihak yang merasa dirugikan melakukan pengkuasaan berbentuk lisan maupun tertulis untuk melakukan penuntutan (Pasal 1792 dan 1793 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang sifat pemberian kuasa).

KESIMPULAN

Maka esensinya bahwa terhadap kasus tindak pidana dengan delik aduan wajib adanya laporan resmi dari pihak yang merasa dirugikan berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) KUHP dengan demikian pihak berwenang dapat melakukan pengurusan dan proses pemeriksaan. Selain itu terhadap kasus pelaporan pihak ketiga atas tindak pidana delik aduan di atas secara teoritis hukum tidak sepatutnya dilakukan, dikarenakan tindakan yang tidak berdasarkan hukum akan berakhir sia-sia, namun Kembali lagi bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk melakukan pelaporan sehingga tindakan pelaporan tersebut sah secara hukum.

 

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Send this to a friend