Hak Mencabut Keterangan Dalam Proses Penyidikan Menurut Perspektif Hukum Indonesia

 In Articles

Reza Putra Rahmaditya, S.H.

Pada dewasa ini, keterangan yang disampaikan oleh tersangka dan saksi kepada Penyidik memiliki peran yang sangat krusial dan penting dalam proses pembuktian Perkara Pidana. Sesuai dengan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( “KUHAP”), 

“Alat Bukti yang sah adalah:

  1. Keterangan Saksi;
  2. Keterangan Ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan Terdakwa.”

Dalam Perkara Pidana, keterangan saksi umumnya dianggap sebagai alat bukti yang utama dan penting. Hampir seluruh Perkara Pidana bergantung dengan adanya keterangan para saksi. Seringkali, alat bukti lainnya diperkuat dengan keterangan saksi. Namun demikian, bukan berarti keterangan tersangka / terdakwa tidaklah memiliki kepentingan.

Permasalahan dapat timbul dalam proses pembuktian apabila terdakwa dan saksi mencabut keterangan yang telah diberikan kepada Penyidik selama pemeriksaan sebelumnya di Kepolisian. Sebagaimana mestinya, keterangan tersangka/terdakwa dan saksi dituangkan dalam Berita Acara Penyidikan (“BAP”). Pencabutan keterangan yang telah disampaikan kepada Penyidik merupakan hal umum yang dapat dijumpai dalam Perkara Pidana. Banyak terdakwa dalam Kasus Korupsi yang menyatakan untuk mencabut keterangan sebelumnya di Penyidik dengan aspek bahwa mereka berada dalam dugaan adanya “tekanan” dan “paksaan untuk mengakui sesuatu hal” pada saat pemeriksaan dalam memberikan keterangan di Penyidik Kepolisian. Dalam Perkara Pidana Umum, pencabutan keterangan oleh tersangka pada umumnya dilakukan dengan alasan mengalami “dugaan penekanan dan paksaan untuk mengakui sesuatu hal” selama Penyidikan berlangsung.

Pada saat ini, kita dapat melihat secara langsung berita yang sedang hangat-hangatnya kembali terkait Kasus Pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon yang terjadi delapan tahun silam. Para pembaca dapat melihat bahwasanya para terpidana dan saksi mencabut keterangan didasarkan dengan adanya perbuatan selama Penyidikan mengalami “dugaan penyiksaan, pemaksaan, dan penekanan” yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian kepada terpidana dan para saksi yang ada.

Langkah Pencegahan Dalam Penyidikan dengan Unsur Adanya “Dugaan” Penekanan, Dan Pemaksaan.

Dalam Hal proses Penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dapat dilakukan secara akuntabel, transparan, dan profesional, dalam maksud yakni selama proses penyidikan tersangka maupun saksi ketika memberikan keterangan dan kesaksian dapat direkam dengan menggunakan CCTV ataupun kamera yang telah disediakan, jika hal tersebut bisa dilakukan oleh Kepolisian, maka pengakuan atas selama ini tersangka maupun saksi mendapatkan perlakuan penekanan atau mendapatkan tindakan pemaksaan dapat diluruskan. Dengan tujuan, di Indonesia, penilaian terhadap benar atau tidaknya tersangka maupun saksi mendapatkan tindakan penekanan dan pemaksaan pada saat memberikan keterangan dalam Penyidikan nantinya akan bergantung pada keputusan Majelis Hakim.  Berbicara mengenai Penyidikan yang dapat direkam, kita bisa melihat bagaimana di Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) yang sudah lama menerapkan hal tersebut, ketika tersangka korupsi dan saksi memberikan keterangan dan pada saat itu juga mereka menyediakan CCTV atau Kamera untuk merekam, sehingga nantinya ketika para tersangka maupun saksi mendapatkan tindakan yang tidak menyenangkan seperti adanya dugaan penekanan ataupun pemaksaan maka dapat dijelaskan selama masa persidangan berlangsung. 

Pendapat Para Ahli

Adapun menurut M.Yahya Harahap dalam buku dengan judul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Tahun, 2002”. Beliau berpendapat bahwa secara hukum, terdakwa memiliki hak dan diizinkan untuk mencabut kembali keterangan yang telah diberikan kepada Penyidik Kepolisian dalam Penyidikan sebelumnya. Prinsip ini berlaku selama keterangan tersebut diberikan dalam Pemeriksaan Pengadilan. 

Adapun bila merujuk Undang-Undang, tidak membatasi hak tersangka untuk mencabut keterangan yang telah disampaikan dalam proses Penyidikan. Adapun beberapa syarat dalam mencabut keterangan tersebut harus memiliki alas hak yang didasari oleh hukum yang kuat dan masuk akal (logis). Kualitas dari memberikan alasan dan memiliki alas hak yang didasari oleh hukum yang kuat dan kelogisan dari alasan yang telah dikemukakan harus sedemikian rupa sehingga mendukung tindakan dari pencabutan keterangan tersebut.

Selanjutnya, apabila Majelis Hakim dapat menerima pencabutan keterangan oleh terdakwa, maka: (a) Keterangan yang didapat dalam proses Penyidikan dan telah dituangkan dalam BAP dianggap tidak benar; dan (b) Keterangan tersebut tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di Sidang Pengadilan. Sebaliknya, apabila alasan pencabutan tidak dapat dibenarkan karena alasan yang telah diberikan oleh terdakwa di Pengadilan tidak didasari oleh hukum yang kuat dan logis, maka keterangan pengakuan dalam BAP Penyidikan tetap dianggap benar dan sah, dan Majelis Hakim dapat menggunakannya sebagai alat untuk menemukan bukti di sidang Pengadilan. Apabila pencabutan keterangan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan logis, maka pencabutan tersebut tidak dapat diterima. Adapun landasan dari pola pemahaman yakni alasan yang logis tertuang dalam Pasal 52 KUHAP yang menjelaskan bahwa: 

“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”

Adapun penjelasan dari Pasal 52 KUHAP menjelaskan bahwa: “Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.”

Adapun Asas-Asas yang tercakup dalam Pasal 52 KUHAP yang penting dalam pemeriksaan, sehingga Penyidik, Penuntut Umum, dan Majelis Hakim perlu memahami beberapa hal:

  1. Tersangka atau Terdakwa tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai objek pemeriksaan yang tidak berhak berbuat lain kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepadanya atau harus mengakui apa yang disangkakan kepadanya;
  2. Tidak memiliki kewajiban bagi Tersangka atau Terdakwa untuk mengakui apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya pada semua tingkat pemeriksaan. Het is niet Juist om iemand te dwingen inlichtingen te geven over door hamzelf begane strafbare feiten (Tidak benar memaksa seseorang untuk memberikan informasi tentang tindak pidana yang dilakukan olehnya sendiri). Kalimat ini menekankan bahwa memaksa seseorang untuk mengungkapkan informasi mengenai kejahatan yang mereka lakukan sendiri adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak adil;
  3. Tidak diperbolehkan menggunakan segala bentuk pemaksaan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari tersangka atau terdakwa, baik secara paksaan fisik maupun psikis;
  4. Tersangka atau Terdakwa tidak boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim, tetapi keadaan itu tidak boleh dijadikan untuk memperberat pidana.”

Asas-asas yang telah dijelaskan diatas, sejalan dengan Pasal 117 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.”

Pengertian Keterangan & Pengakuan Terdakwa

Penggunaan istilah “keterangan terdakwa” sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, berbeda halnya dengan istilah “pengakuan” dalam Pasal 295 HIR dapat dijelaskan sebagai berikut:

“Saksi merupakan orang yang memberikan keterangan secara lisan di pengadilan dengan disumpah terlebih dahulu mengenai suatu peristiwa yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.”

Pengertian “Keterangan Terdakwa” tidak harus identik dengan adanya sebuah “pengakuan”, karena sebuah pengakuan yang telah diberikan merupakan sebuah bukti yang memiliki persyaratan khusus, yakni pelaku mengakui telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan atau mengakui bersalah. Oleh karena itu, keterangan terdakwa memiliki arti yang lebih luas daripada pengakuan. Sesuai dengan Memorie Van Toelichting Wetboek Van Strafrecht / Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WVT / KUHP), penyangkalan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti yang sah.

Keterangan Terdakwa Dalam & Luar Persidangan

Salah satu poin utama dari KUHAP untuk memiliki gambaran terkait dengan keterangan saksi maupun terdakwa, tertuang di dalam Pasal 189 ayat (1), yang menyatakan bahwa:

“(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”

Menurut Yahya Harahap bahwa pemahaman di atas memiliki pengertian dari “keterangan terdakwa harus disampaikan di muka persidangan apabila ingin bernilai pembuktian.” Kalimat yang digunakan “di muka persidangan” yakni suatu penjelasan berupa jawaban dan/atau sanggahan atas penjelasan yang telah diajukan oleh Penuntut Umum, Majelis Hakim, atau Penasihat Hukum. Untuk menjadi bahan pertimbangan dan penilaian Majelis Hakim bukan hanya sebuah pengakuan, tetapi juga sanggahan dan/atau penyangkalan.

Adapun terkait dengan memberikan keterangan terdakwa diluar persidangan telah dijelaskan di dalam Pasal 189 ayat (2), yang berbunyi:

“(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.”

Adapun kegunaan dari keterangan terdakwa diluar persidangan sesuai dengan penjelasan Pasal di atas. Untuk membantu menemukan bukti dan titik terang di Pengadilan nantinya, dalam hal ini keterangan terdakwa diluar persidangan yakni dapat melalui BAP yang telah dilakukan oleh Penyidik untuk dibawa ke dalam Persidangan.

Keterangan Saksi:

Pengertian Keterangan Saksi menurut Pasal 1 ayat (27) KUHAP, yang berbunyi: “Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Adapun Keterangan Saksi disini sangatlah penting untuk dapat membantu proses persidangan dan membantu memberikan bukti-bukti tambahan berdasarkan keterangan saksi tersebut. Adapun ketika seorang saksi memberikan keterangan dimuka persidangan, saksi tersebut diharuskan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan sesuai dengan apa yang telah mereka berikan pada saat proses penyidikan sebelumnya, dikarenakan keterangan saksi tersebut pada proses penyidikan telah diambil sumpahnya oleh penyidik dan telah dituangkan dalam BAP yang telah ditandatanganinya. 

Maka keterangan yang telah diberikan oleh saksi pada saat proses penyidikan dan telah dituangkan dalam BAP tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti tambah berupa surat, sehingga dianggap sah sebagaimana telah di jelas di dalam Pasal 187 huruf (b), dan huruf (d) KUHAP, sebagaimana berbunyi

“(b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

(d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”

Contoh Kasus:

Contoh Kasus dari adanya “dugaan” penekanan dapat menjadikan sebuah acuan untuk dapat mencabut suatu keterangan yang dapat diperhatikan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1565 K/Pid/2013 tanggal 6 Mei 2014. Dalam perkara aquo, dalam amar putusan bahwasanya, Majelis telah membebaskan terdakwa dikarenakan dua saksi kunci telah mencabut keterangan mereka di depan penyidik karena adanya unsur tertekan dan takut.

Putusan Mahkamah Agung No. 51 PK/Pid/2018 tanggal 2 Oktober 2018, dalam amar putusan bahwasanya, Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) mengemukakan bahwa pencabutan keterangan oleh Pemohon tidak serta merta membebaskan Pemohon dari dakwaan. Majelis Hakim menegaskan adanya tiga poin penting yang harus dijadikan pedoman sebagai berikut:

  1. Pencabutan Keterangan Pengakuan yang diakui oleh hukum adalah pencabutan yang didasari dengan alasan yang logis;
  2. Pencabutan tanpa dasar alasan tidak dapat diterima;
  3. Penolakan pencabutan keterangan dan/atau pengakuan mengakibatkan pengakuan tersebut tetap dapat digunakan sebagai alat bantu menemukan alat bukti.

Putusan Mahkamah Agung No. 130/PK/Pid.Sus/2014 tanggal 14 Oktober 2014, mengandung kaidah hukum bahwa surat pernyataan pencabutan keterangan yang dibuat setahun sebelum Putusan Peninjauan Kembali (“PK”) tidak dapat dikualifikasikan sebagai bukti baru (novum). Surat pernyataan pencabutan keterangan tersebut juga telah diajukan dalam persidangan judex factie. Meskipun barang bukti ekstasi bulan milik terpidana melainkan milik temannya, barang bukti tersebut ditemukan di dalam kamar tidur dan dalam lemari pakaian terpidana, itu berarti setidaknya terpidana menyimpan barang bukti tanpa hak. Perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur Pasal 112 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Oleh karena itu alasan-alasan PK terpidana tidak memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan Pasal 283 ayat (3) KUHAP.

Kesimpulan:

Maka dapat disimpulkan bahwa mencabut keterangan pada proses Penyidikan dikarenakan adanya tindakan pemaksaan, penekanan baik secara fisik maupun psikis merupakan hak tersangka, terdakwa, dan saksi yang diakui secara hukum di Indonesia, dengan syarat dan ketentuan harus memiliki alas hak yang didasari oleh hukum yang kuat dan logis. Keterangan saksi dan terdakwa merupakan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 huruf (a) dan huruf (e) KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hak tersangka dan saksi untuk mencabut keterangan yakni dalam Pasal 52 KUHAP dan Pasal 117 ayat (1) KUHAP, yang menegaskan pentingnya pemeriksaan bebas dari tekanan atau paksaan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun terhadap tersangka, terdakwa, dan saksi.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Send this to a friend