HUKUM JUAL BELI TANAH AYAH ANAK DAN SUAMI ISTRI

 In Articles

Sandra Marisha

Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang melarang jual beli tanah antara orang tua dengan anak(-anaknya). Hal ini berbeda dengan jual beli antara suami-istri yang dengan tegas tidak diperbolehkan berdasarkan Pasal 1467 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) kecuali terhadap tiga hal.

Untuk mengetahui sah tidaknya suatu perjanjian maka harus terpenuhi syarat nya sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi:

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Namun, dalam hal adanya jual beli antara ayah dengan anak harus dilihat kembali mengenai usia anak tersebut, apakah ia sudah dewasa atau tidak. Karena seorang anak yang belum dewasa termasuk ke dalam kategori yang tidak cakap untuk membuat persetujuan. Mengenai pihak yang tidak cakap membuat persetujuan diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, antara lain:

Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;

  1. anak yang belum dewasa;
  2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
  3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

Akan tetapi, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Sedangkan, mengenai usia dewasa seorang anak diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 tahun namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan merupakan suatu syarat subyektif, yang apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.Dapat dibatalkan artinya, salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Jadi, bila perjanjian jual beli tanah itu dilakukan antara ayah dengan anak yang sudah berusia dewasa, maka perjanjian tersebut dapat terlaksana. Sedangkan apabila jual beli tanah tersebut dibuat antara ayah dengan anak di bawah umur dan salah satu pihak ada yang tidak setuju, maka di kemudian hari salah satu pihak dapat memintakan pembatalan perjanjian jual beli tanah tersebut ke Pengadilan Negeri.

Hal penting lainnya menyangkut jual beli tanah adalah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Larangan Jual Beli Suami Istri

Dalam KUH Perdata terdapat larangan jual beli antara suami istri selama perkawinan berlangsung hal ini adalah didasarkan pada pasal 1467 KUH Perdata yang berbunyi : Antara suami-istri tak boleh terjadi jual beli kecuali dalam ketiga hal yang berikut: 1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum. 2) Jika si istri menyerahkan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Juga dari siapa ia tidak dipisahkan, berdasarkan pada suatu alasan yang sah, jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan. 3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan. Sekedar benda-benda itu dikecualikan dari persatuan.

Ketentuan tersebut hanya mempunyai arti kalau suami istri itu kawin dengan (perjanjian) perpisahan kekayaan. Sebab kalau mereka itu kawin dalam percampuran kekayaan (yang adalah pola normal dalam hukum BW), maka kekayaan kedua belah pihak di campur menjadi satu, baik kekayaan yang selama perkawinan. Ketentuan (larangan jual beli antara sumi istri) ini dimaksudkan untuk melindungi orang-orang pihak ketiga yang mengadakan transaksi-transaksi dengan si suami atau si istri dimana mereka tentunya menyandarkan kepercayaan mereka kepada kekayaan si suami atau istri itu. Dalam hukum perkawinan juga kita lihat suatu larangan untuk merubah suatu perjanjian perkawinan.

Dalam hal perkawinan tanpa perjanjian perkawinan menurut pasal 35 ayat (1) UU perkawinan yang berbunyi “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Maka tidak ada gunanya bagi suami yang banyak hutangnya menghibahkan benda-benda yang bernilai kepada istrinya agar menyelamatkan benda-benda itu dari penyitaan dan pelelangan oleh pengadilan untuk pembayaran hutang suami, sebab benda-benda yang dihibahkan itu menjadi harta bersama yang tidak bebas dari penyitaan dan pelelangan untuk membayar utang suami.

Recent Posts

Send this to a friend