KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA)
Laurences Aulina
Pembentukan SEMA sendiri berasal dari wewenang Mahkamah Agung (MA) untuk meminta keterangan dan memberikan petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan di bawahnya. SEMA menjadi suatu kebijakan untuk menjalankan fungsi pengawasan MA dengan melihat perkembangan yang ada.
Hal ini juga sejalan dengan rumusan Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung, yang mengatur “MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”. Dalam konteks itulah kita seyogianya membaca produk hukum MA berikut, yaitu PERMA, SEMA, Fatwa; dan SK KMA.
SEMA sendiri berkedudukan di bawah undang-undang, bukan setara atau lebih tinggi dari undang-undang. SEMA hanya mengikat ke dalam lingkungan peradilan saja. Sedangkan undang-undang adalah aturan hukum tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berkekuatan mengikat terhadap seluruh warga negara Indonesia.
Peraturan MA atau PERMA pada dasarnya adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sedangkan, Surat Edaran MA atau SEMA bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. Fatwa MA berisi pendapat hukum MA yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Surat Keputusan Ketua MA atau SK KMA adalah surat keputusan (beschikking) yang dikeluarkan Ketua MA mengenai satu hal tertentu.
Keabsahan
Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan kewenangan suatu lembaga. Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011 berbunyi,
Pasal 7
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Sehingga jelas bahwa, keabsahan dari peraturan ini sendiri memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Pengertian dan Ruang Lingkup
Berdasarkan dasar pembentukannya, secara teori terdapat dua jenis SEMA, yaitu SEMA sebagai peraturan kebijakan dalam arti umum pada lingkup pemerintahan (eksekutif) dan SEMA dalam arti khusus pada lingkup lembaga yudikatif. SEMA dalam arti yang pertama didasarkan pada diskresi sebagaimana dinyatakan dalam Bab IV Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, contohnya seperti SEMA 8/2020 tentang Pengaturan Jam Kerja Dalam Tatanan Normal Baru Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya.
Sedangkan SEMA dalam arti kedua didasarkan pada Pasal 32 UU MA, di mana “Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya”, contohnya seperti SEMA 2/2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Keputusan Ketua MA Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016 mendefinisikan SEMA sebagai “bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi dan juga memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak”.
Berdasar definisi ini, materi SEMA adalah bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang bersifat administrasi peradilan (perkara) dan pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Administrasi peradilan (perkara) pada pokoknya adalah pengadministrasian hukum acara, sedangkan kalimat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak adalah kalimat terbuka (open texture) yang dapat ditafsirkan secara lebih luas, baik atas hukum materiil, hukum acara, maupun administrasi umum (perkantoran) pada MA dan badan peradilan di bawahnya. Sebagai bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, SEMA mengatur secara intern lembaga peradilan, tidak berlaku umum. Meski demikian, penerapan SEMA dapat berimplikasi kepada masyarakat umum.
Perlu diketahui bahwa suatu PERMA dapat dilakukan pengajuan permohonan hak uji materiil (judicial review) ke MA. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyatakan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Adapun SEMA tidak dapat diajukan judicial review, karena SEMA termasuk peraturan kebijakan/beleidsregel (SEMA 4/2014 pada Rumusan Kamar TUN).
Meski demikian, apabila ada SEMA sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan di lingkup yudikatif sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf b jo. Bab VI UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka SEMA yang substansi normanya bersifat konkrit umum dapat digugat di PTUN.