IMPLEMENTASI PELAKSANAAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019
Fabian Falisha
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”) khususnya pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 menjadi objek uji materiil yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 (“Putusan MK”) melanggar hak konstitusional.
Pasal 15 ayat 2 UU Fidusia:
UU Fidusia pasal 15 ayat 2 menyebutkan “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Berdasarkan pasal 15 ayat 2, pada prinsipnya memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap penerima fidusia (kreditur) dan pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia, dengan menyamakan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terhadap pasal 15 ayat 2 UU Fidusia tersebut, Mahkamah Konstitusi mengadili dengan Amar Putusan sebagai berikut :
“Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
“Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
Pasal 15 ayat 3 UU Fidusia:
UU Fidusia pasal 15 ayat 3 menyebutkan “Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”.
Berdasarkan pasal 15 ayat 3, pada prinsipnya telah memberikan penguatan hak kepada penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri, dalam hal debitur cidera janji.
Terhadap pasal 15 ayat 3 UU Fidusia tersebut, Mahkamah Konstitusi mengadili dengan Amar Putusan sebagai berikut :
“Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
Putusan MK tersebut dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur sebagai berikut:
- Jika tidak ada kesepakatan wanprestasi/cidera janji dan penyerahan sukarela objek fidusia oleh debitur, proses dan mekanisme eksekusi objek jaminan fidusia harus berdasarkan putusan pengadilan;
- Cidera janji tidak ditentukan sepihak oleh kreditur, melainkan atas kesepakatan antara kreditur dan debitur;
Latar belakang Putusan MK dilihat dari sudut pandang debitur, adalah pengaturan dalam pasal a quo, hanya berfokus untuk memberikan kepastian hukum penerima fidusia (kreditur) dengan jalan dapat melakukan eksekusi objek fidusia secara serta merta dan dengan prosedur dan penyitaan objek fidusia dengan segala cara. Oleh karena itulah pelaksanaannya justru dapat melanggar hak-hak konstitusional debitur.
Pasca Putusan MK dan dilihat dari sudut pandang kreditur, penulis melakukan riset terhadap salah satu lembaga pembiayaan di Indonesia, dan dapat melakukan Q & A dengan general manager lembaga pembiayaan tersebut yang juga merupakan kolega dari penulis, dengan diskusi sebagai berikut:
1 | Q | = Apakah ada perubahan manajemen resiko atas dampak dari Putusan MK tersebut? |
A | = Analisa dan risk manajemen akan diperketat lagi agar mendapat nasabah yang layak, dengan pelaksanaan teknis tidak terbatas pada; DP dinaikan, dan lain-lain. | |
2 | Q | = bagaimana mitigasi resiko terhadap aset pasca putusan MK tersebut? |
A | 1. Perlu diperbaiki perjanjian pembiayaan dan perjanjian ikutannya (accesoirnya) secara detail agar tidak menjadi sengketa antara para pihak di kemudian hari.
2. Pendekatan personal dengan memperhatikan hak konstitusional debitur terhadap penarikan aset oleh jasa profesional. |
|
3 | Q | = bagaimana praktik lelang objek fidusia pasca putusan MK tersebut? Apakah ada perubahan terhadap pelaksanaan lelang tersebut? |
A | = Putusan MK tidak menghapus hak eksekusi kreditur terhadap barang-barang yang difidusiakan, perusahaan pembiayaan masih bisa melakukan ekskusi jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Debitur mengakui adanya cidera janji sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian; b. Debitur atau pemberi fidusia akan menyerahkan objek perjanjian secara sukarela akibat dari cidera janji tersebut; |
Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK
Pelelangan jaminan fidusia merupakan salah satu cara untuk mengembalikan pembiayaan bermasalah atau tunggakan macet debitur perusahaan pembiayaan atau leasing.
Eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan MK menambah ketentuan berupa surat pernyataan dari penjual bahwa barang yang dilelang dalam penguasaan penjual dan telah diserahkan secara sukarela oleh debitur, dan debitur telah sepakat bahwa telah terjadi cidera janji/wanprestasi dan tidak ada keberatan dari debitur atas pelaksanaan lelang tersebut, namun apabila debitur tidak sepakat atas hal-hal tersebut diatas, lembaga lelang membutuhkan persyaratan berupa putusan pengadilan yang menjadi syarat dokumen pengajuan pelelangan jaminan fidusia tersebut.
Dokumen pendukung lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan dokumen persyaratannya sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
Solusi Hukum
- Menurut Notaris Udin Narsudin terkait dengan Putusan MK tersebut perlu adanya penyesuaian perjanjian jaminan fidusia dengan menambahkan dan memperjelas klausul wanprestasi secara terperinci, misalnya: “jika debitur wanprestasi harus sukarela menyerahkan barang jaminan, jika tidak mau digugat.” dan klausul penghukuman bila salah satu pihak melanggar perjanjian yang dalam putusan MARI No. 2423 K.Pdt/1986 diperkenankan.
- Perlu adanya regulasi yang efektif dan efisien mengenai pedoman pelaksanaan eksekusi yang sah secara non-litigasi yang mengharuskan debitur/pemberi fidusia secara sukarela menyerahkan objek fidusia tanpa menggunakan cara-cara premanisme, teror dan intimidasi.
- Penafsiran yang sama untuk semua lembaga lelang eksekusi jaminan fidusia atas kewajiban berupa putusan pengadilan, persyaratan berupa putusan pengadilan hanya terhadap adanya proses pengadilan / gugatan debitur atau pihak ketiga sebelum pelaksanaan pelelangan atau debitur tidak sepakat atas pelaksanaan eksekusi objek fidusia tersebut.