Legalitas Pemberian Kuasa Secara Lisan

 In Legal News & Events

Feril Hamdani S.H

Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa berdasarkan pasal 1792 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Berdasarkan penjelasan di atas maka Kuasa dapat disimpulkan sebagai salah satu jenis Persetujuan/Perjanjian maka untuk sahnya pemberian kuasa itu juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1) Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya
2) Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3) Suatu hal tertentu
4) Suatu sebab (causa) yang halal
Pasal 1794 KUH Perdata juga menjelaskan bahwa Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat dibawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam – diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.
Pemberian kuasa merupakan perjanjian hukum sepihak, karena pemberi kuasa sewaktu-waktu dapat mencabut kembali tanpa perlu meminta persetujuan si penerima kuasa berdasarkan Pasal 1814 KUH Perdata yang berbunyi “Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian kuasa tidaklah harus dalam wujud tertulis. Pemberian kuasa dapat dilakukan secara lisan namun bagaimana pembuktian kuasa secara lisan.
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa Kuasa dapat diartikan sebagai persetujuan/ perjanjian. Dalam perkara perdata, meski bentuknya lisan, namun suatu perjanjian masih dapat dibuktikan melalui alat bukti lain, selain bukti tertulis, yang diterangkan Pasal 1866 KUH Perdata jo. 164 HIR, alat pembuktian meliputi:
1) Bukti tertulis;
2) Bukti saksi;
3) Persangkaan;
4) Pengakuan;
5) Sumpah
Pembuktian perjanjian dalam bentuk lisan dapat dilakukan dengan menghadirkan saksi yang dapat menerangkan adanya perjanjian tersebut. Namun patut dipahami bahwa Pasal 1905 KUH Perdata menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam pengadilan tidak boleh dipercaya. Artinya bahwa seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau perjanjian, karena terdapat batas minimal pembuktian dalam mengajukan alat bukti saksi, yaitu paling sedikit dua orang saksi, atau satu orang saksi disertai dengan alat bukti yang lain, misalnya adanya pengakuan dari pihak lawan yang membuat perjanjian tersebut.

Recent Posts

Send this to a friend