MENYELAMI HAK-HAK PELAKU USAHA DITINJAU DARI UU – PERLINDUNGAN KONSUMEN

 In Articles

Reza Putra Rahmaditya, S.H.

Pelaku usaha memiliki peranan yang sangat penting di dalam melindungi konsumen, dimana pelaku usaha wajib menyediakan: 1. Sebuah Produk atau sebuah jasa yang aman; 2. Pelaku usaha wajib memberikan sebuah informasi yang jujur dan jelas terhadap sebuah produk atau jasa yang ia sediakan; 3. Pelaku usaha perlu memberikan sebuah edukasi atau keterangan terkait dengan produk atau jasa yang ia sediakan kepada konsumen; 4. Pelaku usaha perlu memahami bagaimana untuk menangani bilamana terdapat keluhan-keluhan dari konsumen terhadap produk atau jasa yang telah ia berikan; 5. Pelaku usaha juga harus mematuhi aturan-aturan yang berhubungan dengan usaha yang dijalani.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut sebagai “UU – Perlindungan Konsumen”) yang mana telah mengatur mengenai hak dan kewajiban para konsumen dan para pelaku usaha. Adapun hak dan kewajiban Pelaku Usaha telah di atur di dalam UU – Perlindungan Konsumen Pasal 6. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha memperlihatkan aspek keperdataan perlindungan konsumen. Maka dari itu, apa saja hak pelaku usaha menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

 

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

Hak yang dimiliki oleh pelaku usaha pertama ini mengenai kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Konsumen yang telah memberi suatu barang atau menggunakan jasa dari pelaku usaha berarti telah setuju mengenai harga dan tata cara pembayaran. Selain itu persetujuan kedua belah pihak dapat dilihat dari alat pembayaran atau pelunasan pembayarannya. Seperti contoh ketika konsumen membeli suatu barang ke pelaku usaha dengan menggunakan skema utang kredit melalui suatu bank atau Lembaga kuangan lainnya. Dimana konsumen memiliki hak kepada pelaku usaha untuk membayar hingga lunas kepada pelaku usaha, sedangkan Pelaku usaha memiliki hak yaitu menerima pembayaran hingga lunas.

Pentingnya sebuah perjanjian di dalam hubungan antara Pelaku Usaha dengan Konsumen juga telah di jelaskan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 71 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 48 ayat (5) telah menegaskan bahwa “Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim dan/atau jasa yang disediakan tanpa dasar kontrak.”

Menurut J. Satrio dalam bukunya berjudul Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi. 2014: 14 – 15, menjelaskan mengenai wanprestasi yang seringkali berhubungan dengan tidak terpenuhinya pembayaran. Suatu Perjanjian wajib dipenuhi. Dipenuhinya suatu perjanjian merupakan tujuan utama dari perjanjian itu sendiri. Atau dapat dikatan bila tidak terpenuhinya salah satu kewajiban di dalam suatu perjanjian maka termasuk kedalam suatu pelanggaran. Pada intinya Wanprestasi membahas mengenai tentang kewajiban pembayaran dari suatu kesepakatan yang tidak dipenuhi sebagaimana seharusnya. Bila merujuk kedalam Pasal 1381 KUH Perdata telah menjelaskan dengan tegas salah satu sebab terhapusnya perikatan adalah Pembayaran. Tetapi pembayaran yang dimaksud dalam konteks hukum berbeda dari pembayaran dalam kehidupan sehari-hari.

Bila merujuk kedalam Putusan Mahkamah Agung No. 3013 K/Pdt/2013 tertanggal 20 Februari 2014, Majelis Hakim Kasasi mengabulkan permohonan kasasi pelaku usaha, dan membenarkan gugatan rekonvensi dari pelaku usaha yang meminta kerugian akibat tidak terpenuhinya cara dan syarat-syarat pembayaran yang telah disepakati penerima barang titipan.

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik

Dalam UU – Perlindungan Konsumen menggunakan nomenklatur atau istilah ‘iktikad tidak baik’, namun tidak menjelaskan lebih rinci terkait apa yang dimaksud dengan nomenklatur iktikad tidak baik. Di dalam hukum konsep yang lazim digunakan adalah iktikad baik. Jadi kebalikan dari iktikad baik adalah iktikad tidak baik. Merujuk dalam Pasal 1338 KUH Perdata telah menjelaskan dengan tegas seluruh kesepakatan yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang. Kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tidak dapat ditarik atau dibatalkan oleh satu pihak melaikan perlunya disepakati oleh kedua belah pihak dengan alasan-alasan yang dibenarkan.

Iktikad baik atau Good Faith merupakan salah satu prinsip dalam perdagangan secara elektronik. Prinsip ini telah dijelaskan dengan tegas dalam Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Pelaku usaha dan konsumen sudah sepatutnya melakukan perdagangan melalui elektronik dengan iktikad baik. Bilamana terjadi pelanggaraan prinsip iktikad baik maka akan berakibat pada kesepakatan itu sendiri, dengan tidak mengurangi hak-hak dari pihak yang memiliki iktikad baik tersebut.

Istilah Iktikad tidak baik seringkali digunakan dalam sengketa pelaku usaha dengan konsumen. Sebagaimana contoh di dalam Putusan Mahkamah Agung No. 385 K/Pdt.Sus-BPSK/2018 tertanggal 18 April 2018 yakni ketika Konsumen tidak membayar cicilan dalam perjanjian pembiayaan jaminan fidusia. Dalam Putusan Mahkamah Agung No, 3 K/Pdt.Sus-BPSK/2016 tertanggal 24 Februari 2016 yakni mengalihkan penguasaan objek jaminan. Dan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 501 K/Pdt.Sus-BPSK/2020 tertanggal 12 Mei 2020 yakni mengadukan pelaku usaha berdasarkan peraturan yang telah dicabut.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

Penyelesaian sengketa konsumen dapat melalui perdata maupun pidana. UU Perlindungan Konsumen lebih menekankan kemungkinan gugatan konsumen kepada pelaku usaha, sebaliknya pelaku usaha memiliki hak untuk membela diri dari tuntutan hukum yang ditempuh konsumen. Bila merujuk kepada Pasal 42 ayat (3) UU – Perlindungan Konsumen menyebutkan Sengketa konsumen dapat dituju melalui pengadilan maupun diluar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Forum penyelesaian sengketa konsumen diluar meja hijau dapat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Di dalam perkembangannya, terdapat banyaknya putusan Mahkamah Agung yang memutus dengan tegas BPSK tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa perjanjian kredit antara konsumen dengan pelaku usaha. Para pihak tunduk kepada Perjanjian yang telah dibuat sehingga harus dilihat sebagai perbuatan Wanprestasi. Argumentasi atau Penjelasan pelaku usaha mengenai tidak berwenang BPSK diterima, dan pada akhirnya Konsumen tetap harus membayar kewajibannya.

Dalam setiap Penyelesaian Sengketa, Pelaku Usaha memiliki hak untuk membela diri baik di dalam Pengadilan maupun dalam forum lainnya. Tak jarang di dalam sebuah pembelalaan pelaku usaha, argumentasi pelaku usaha diterima di pengadilan. Putusan Mahkamah Agung No. 1741 K/Pdt/2014 jo Putusan No. 231 PK/Pdt/2017 yakni menjelaskan Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan pelaku usaha selaku kontraktor yang telah selesai membangun perumahan tetapi hak-hak atas pembayaran belum dilunasi. Pelaku Usaha bukan saja berhak mendapatkan pelunasan kewajiban tapi berhak atas tuntutan penalti.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

Tuntutan kepada Pelaku Usaha dalam hal semacam ini tak luput dari upaya mengembalikan nama baik dan untuk menjaga kepercayaan kepada masyarakat. Pada umumnya, gugatan ganti rugi didasari pada Pasal 1365 KUH Perdata mengatur terkait dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang laon, mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian tersebut.

UU –  Perlindungan Konsumen telah memberikan hak bagi pelaku usaha untuk meminta rehabilitasi nama baik apabila kerugian atas konsumen tidak diakibatkan oleh barang yang dijualnya. Tetapi, di dalam undang-undang perlindungan konsumen tidaklah dijelaskan sistematika rehabilitasi atas nama yang dimaksud dan bagaimana mekanismenya. Pada hakikatnya, rehabilitasi atas nama baik adalah sebuah upaya badan hukum atau perseorangan yang merasa terugikan akibat penghinaan atau pencemaran nama yang dilakukan oleh pihak lain.

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

UU – Perlindungan Konsumen telah mengakui hak-hak dari para pelaku usaha yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak tersebut tergantung pada sector dari para pelaku usaha seperti: 1. Kesehatan; 2. Pertambangan; 3. Transportasi; 4. Perbankan. Dalam lingkup pelaku usaha transportasi penerbangan acap kali berhadapan dengan konsumen di pengadilan terkait dengan pelayanan.

Disamping keberadaan UU – Perlindungan Konsumen juga dirumuskan pada Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, bahwasannya pelaku usaha sebagai setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan. UU ini telah mengatur sejumlah kewajiban pelaku usaha. Termasuk cara penyelesaian sengketa di dalam sistem perdagangan elektronik yang mana di atur dalam Pasal 65 ayat (5) UU Perdagangan telah menyebutkan dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.

Kesimpulan:

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur beberapa hak pelaku usaha, yaitu Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik, Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen, Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, dan Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Disamping keberadaan UU Perlindungan Konsumen, juga diatur pada Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengenai sejumlah kewajiban pelaku usaha.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Send this to a friend