PEMERKOSAAN DALAM PERKAWINAN
Laurences Aulina
Kenny Wiston
Pendahuluan
Pemerkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual sering terjadi kepada perempuan, baik itu perempuan dewasa, remaja maupun anak-anak. Mirisnya, pelaku bukan saja dari lingkup orang jauh tetapi juga dari lingkup orang terdekat, misalnya suami.
Dalam kenyataannya, tidak jarang dijumpai pada lembaga perkawinan yang resmi dan halal tersebut terdapat tindakan pelanggaran yang dilakukan dalam rangka terpenuhinya kebutuhan biologis, seperti pemaksaan terhadap istri yang dalam literatur dikenal dengan pemerkosaan dalam rumah tangga atau marital rape.
Pemerkosaan di dalam KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pemerkosaan diatur dalam Pasal 285 yang menyatakan, “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Fokus pada pasal tersebut adalah hanya tindak pidana pemerkosaan yang terjadi di luar perkawinan, sehingga tidak mengklasifikasikan marital rape. Yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi si terancam atau mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi, “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”.
Marital Rape dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan
Marital itu sendiri adalah hal berkaitan dengan perkawinan, kemudian rape itu sendiri artinya adalah perkosaan. Jadi marital rape dapat diartikan sebagai perkosaan yang dilakukan oleh suami dengan istri dalam hubungan perkawinan.
Istilah marital rape tidak hanya berupa satu bentuk, namun setidaknya ada bentuk lain sebagai berikut:
- Battering rape : istri mengalami kekerasan fisik dan seksual sekaligus saat suami memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual.
- Force-only rape : suami menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk memaksa atau mengancam istri agar mau melakukan hubungan suami istri. Hal ini dilakukan manakala istri sebelumnya menolak.
- Obsessive rape : istri atau pasangan mendapat kekerasan seksual dalam bentuk perlakuan sadis dalam melakukan hubungan seksual, seperti suami melakukan kekerasan fisik dengan memukul, menarik rambut, mencekik atau bahkan menggunakan alat tajam yang melukai istri untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Marital rape baru mendapat perhatian setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 1 angka 1 UU PKDRT menegaskan bahwa, “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Secara sederhana KDRT juga dapat dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan tujuan untuk menekan atau mengendalikan orang-orang yang berada dalam satu lingkup rumah tangga
Kekerasan terhadap perempuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT dipertegas lagi dalam Pasal 5 UU PKDRT bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
- kekerasan fisik;
- kekerasan psikis;
- kekerasan seksual; atau
- penelantaran rumah tangga.
Lebih lanjut pada pasal 8 dijelaskan bahwa, “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
- pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
- pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”
Berdasarkan hal tersebut, walaupun di dalam KUHP istilah pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) belum ada pengaturannya, namun perbuatan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam UU PKDRT.
Pengaturan sanksi bagi pelaku tindak pidana marital rape diatur pada Pasal 46 yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Kasus Marital Rape di Indonesia
Pada tanggal 20 Juli 2011 ketika Sri Wahyuni telah pulang kerja, ia dihadang oleh suaminya yaitu Ade Purwanto bin Moch. Toha untuk naik ke sepeda motor yang dikendarainya tetapi ia menolak. Ade mengancam istrinya akan ribut dan bertengkar di jalan serta akan ditubruk denga sepeda motor yang dikendarai olehnya apabila menolah, sehingga Sri ketakutan dan terpaksa menaikinya.
Sesampainya di daerah hutan, Ade menghentikan motornya dan mengajak Sri untuk bersetubuh tetapi Sri menolak sehingga memnbuat Ade marah dan langsung menyeret kedua tangan istrinya dan menyuruhnya duduk di tanah. Kemudian, dengan paksa Ade melakukan persetubuhan tersebut. Setelah selesai, Ade mengantarkan istrinya pulang ke rumah orang tuanya dan melanjutkan pulang sendiri dengan menumpang ojek.
Pada kasus ini, hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana penjara selama satu tahun tiga bulan kepada Ade. Dengan dasar pertimbangan Pengadilan Negeri Bangil pada putusan Nomor 912/Pid/2011/PN.Bgl, Ade telah melanggar pasal 46 dan pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”
Pasal 49 huruf (a) berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap orang yang
(a) menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).”
Pada tahun 2015 pun terjadi juga di Denpasar, yaitu Tohari yang memperkosa istrinya yang sedang sakit. Beberapa pekan setelah itu, Siti istrinya meninggal dunia. Atas hal tersebut, PN Denpasar menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari.
Kesimpulan
Pada KUHP hanya dikenal pengaturan pemerkosaaan di luar perkawinan sesuai pada pasal 285 KUHP. Meskipun demikian, pengaturan pemerkosaan di dalam perkawinan (marital rape) diatur pada Pasal 8 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.