POLEMIK PEMIDANAAN NIKAH SIRI

 In Articles

Laurences Aulina

Pendahuluan

Nikah siri memunculkan berbagai persoalan antara lain pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada pegawai pencatat nikah sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga perkawinannya tidak dapat dibuktikan secara hukum. Hal ini berimplikasi pada tidak diakuinya peristiwa perkawinan dan berikut dampaknya oleh hukum nasional. Peristiwa perkawinan yang demikian memiliki makna bahwa peristiwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada sehingga tidak dapat diproses secara hukum. Namun, hal ini masih menjadi polemik dan tidak konsisten penerapannya di pengadilan.

Kawin Siri

Perkawinan menurut Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 yaitu, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Selanjutnya dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dirumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut, “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Kompilasi Hukum Islam, perkawinan sah sepanjang dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, serta perkawinan yang dilakukan tersebut harus dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah. Pencatatan nikah bagi umat Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi non Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil.

Namun, meski telah diatur demikian, kerap kali terjadi perkawinan yang dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah. Hal inilah yang disebut sebagai perkawinan di bawah tangan (kawin siri). Perkawinan yang demikian tetap sah menurut agama dan kepercayaannya, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum jika dipandang dari sudut hukum negara/nasional (hukum positif).

Diantara hal-hal yang dijadikan sebagai alasan yang mendasari perkawinan di bawah tangan salah satunya yaitu tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari istri sebelumnya, maka orang tersebut melaksanakan perkawinan di bawah tangan, cukup di hadapan pemuka agama.

Larangan Perkawinan Dengan Penghalang

Larangan perkawinan dengan penghalang yang sah secara khusus diatur dalam pasal 279 KUHP yang menyatakan:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:

  1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
  2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 – 5 dapat dinyatakan.

Berdasarkan pasal tersebut seseorang dapat dipidana ketika salah satu pihak melakukan suatu perkawinan lagi padahal terhalang oleh perkawinan terdahulunya. Terhalang dimaknakan sebagai indikator yang menyebabkan perkawinan kemudian menjadi tidak boleh dilakukan. Pidana dengan pemberatan dilakukan ketika orang yang melakukan perkawinan lagi padahal masih terhalang oleh perkawinan yang terdahulu tetapi menyembunyikan hal tersebut kepada pasangan kawinnya yang kemudian.

Implikasi

Terlihat ketidakseragaman putusan hakim, baik tingkat pertama maupun tingkat akhir, berkenaan dengan nikah siri, bahkan bersifat kontradiktif. Sebagai contoh adalah putusan MA No. 157K/MIL/2010 pada tanggal 20 Agustus 2010, yang mengakui keabsahan nikah siri. Namun juga terdapat putusan MA No. 17K/MIL/2012 pada tanggal 6 Desember 2012, yang tidak mengakui keabsahan nikah siri.

Ketidakseragaman putusan hakim dalam kasus pidana mempunyai akibat yang mendalam terutama bagi terpidana, yakni hilangnya rasa keadilan terpidana. Hal ini dengan mengkaitkan pada “correction administration”, yaitu ketika seorang terpidana memperbandingkan pidananya dengan pidana terpidana lain yang dijerat pasal yang sama yang selanjutnya merasa menjadi korban “the judicial caprice”.

Putusan hakim yang mengakui keabsahan nikah siri antara lain:

  1. Putusan MA No. 157 K/MIL/2010 pada tanggal 20 Agustus 2010 dengan terdakwa Sumarno. Dalam putusannya, MA menolak kasasi terdakwa, sehingga menguatkan putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta No.PUT/62-K/PMT-II/AD/VI/2010 tanggal 16 Juni 2010, yang menguatkan putusan Pengadilan Militer ll-10 Semarang No. PUT/64-K/PM.II-10/AD/I/2010 tanggal 25 Januari 2010, yang menyatakan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 279 ayat (1) ke- 1 KUHP. Sedangkan perbuatan “telah kawin” yang dilakukan terdakwa adalah “nikah secara siri”. Pertimbangan Majelas Hakim adalah bahwa perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga sebuh perkawinan sah jika perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama masing-masing.
  2. Putusan PN Bangil No. 504/Pid.B/2011/PN.Bgl pada tanggal 3 Oktober 2011 dalam tindak pidana “seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel)”, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 (1) ke-1 a KUHP, dengan terdakwa Khoiron Ubaidillah. Dalam putusannya, PN Bangil membebaskan terdakwa dari dakwaan. Pertimbangan Majelis Hakim adalah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa keabsahan perkawinan ditentukan oleh agama atau kepercayaannya, sedangkan pencatatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan agar perkawinan mempunyai kekuatan dan perlindungan hukum. Dengan demikian, pernikahan terdakwa adalah sah, sehingga persetubuhan mereka juga sah sebagai suami istri, sehingga bukan sebagai “gendak”.

Sedangkan putusan hakim yang tidak mengakui keabsahan nikah siri antara lain:

  1. Putusan MA No. 17 K/MIL/2012 pada tanggal 6 Desember 2012 dalam tindak pidana “Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu” sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 279 (1) ke-1 KUHP dengan terdakwa Ahmad Yusuf. Dalam putusannya, MA menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (Oditur Militer), sehingga menganggap berlaku putusan Pengadilan Militer II-10 Semarang Nomor: 67-K/PM.II-10/AD/X/2011 tanggal 5 Desember 2011, yaitu “terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tersebut.” Dengan demikian, MA hanya mengakui perkawinan kedua dan tidak mengakui perkawinan pertama, dikarenakan perkawinan yang pertama merupakan perkawinan siri.
  2. Putusan Pengadilan Tingi Banten No. 114/PID/2007/PT.BTN pada tanggal 19 Pebruari 2008 dalam tindak pidana “seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel)”, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1 a KUHP, dengan terdakwa Dani Kusmarahadi. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1223/Pid.B/2007/PN.TNG tanggal 20 September 2007, yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perzinaan”. Sedangkan perbuatan “perzinaan” yang dilakukan terdakwa sudah didahului dengan nikah siri. Pertimbangan Majelis Hakim adalah perkawinan siri meskipun sah secara agama bukanlah merupakan perkawinan secara hukum nasional, sehingga dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, hubungan suami isteri yang dilakukan dengan landasan perkawinan siri dianggap tidak sah, sehingga disebut sebagai perzinaan.

Kesimpulan

Perkawinan yang dilakukan pihak pria tanpa seizin istri pertamanya sesuai hukum positif Indonesia dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 279 ayat (1) KUHP. Namun, masih terdapat disparitas putusan hakim mengenai perkawinan tersebut. Ada yang mengakui keabsahannya dan ada pula yang menolak dan menyatakan bersalah atas perkawinan tersebut.  Karena Indonesia tidak menganut sistem yurisprudensi maka setiap hakim dapat menafsirkan secara berbeda-beda pasal tersebut.

Recent Posts

Send this to a friend