Tanggungjawab Direksi Atas Kerugian BUMN
Dalam situasi dimana Direksi BUMN harus mengambil keputusan dan keputusan itu tidak menghasilkan apa yang diharapkan, justru berdampak pada kerugian bagi BUMN, apakah Direksi dibebaskan dari tanggung jawabnya secara hukum? Atau secara otomatis dijerat dengan tindak pidana korupsi karena merugikan Keuangan Negara?
Dalam menjalankan perusahaan atau usaha milik negara, Direksi dihadapkan pada pengambilan keputusan, baik keputusan untuk melakukan investasi hingga keputusan yang bersifat internal berupa pengadaan barang dan jasa. Dari sisi manajemen keputusan harus diambil, bahkan tidak mengambil keputusan pun dianggap sebagai suatu keputusan. Namun demikian meski keputusan sudah diambil secara hati-hati (prudent) bukannya tidak mungkin perusahaan menderita kerugian atas keputusan yang diambil tersebut.
Setiap pengambilan keputusan, baik yang berdampak positif maupun negatif bagi perusahaan, harus dipertanggungjawabkan oleh manajemen. Di Indonesia dalam Hukum Perusahaan pertanggung jawaban ini dilakukan dihadapan Rapat Umum Pemegang Saham. Bila pertanggung jawaban diterima maka Manajemen dibebaskan dari tanggung jawab perusahaan, termasuk bila ada kerugian yang diderita oleh perusahaan (Acquit Et de charge/Release and Discharge).
Namun demikian bila perusahaan tidak bisa menerima pertanggung jawaban Manajemen maka Pemegang Saham dapat menuntut Manajemen membayar ganti rugi. Dalam UU Perseroan Terbatas hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (3): “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.
Untuk mendapatkan ganti rugi, kesalahan atau kelalaian dari Manajemen harus dibuktikan di depan Pengadilan. Dalam Pasal 97 ayat (6) UU Perseroan Terbatas disebutkan bahwa, “Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan” . Dalam proses di Pengadilan inilah pemegang saham yang menggugat ganti rugi harus membuktikan bahwa Manajemen tidak memperhatikan Business Judgement Rules dalam pengambilan keputusannya.
Keuangan BUMN Merupakan Keuangan Negara
Kerugian dalam BUMN dapat berdampak tidak saja pertanggung jawaban secara Perseroan sebagaiamna diatur dalam UU Perseroan Terbatas. Kerugian BUMN dapat menyeret ke ranah pidana atau hal-hal yang berurusan dengan kejahatan. Ada dua hal mengapa demikian: (1) Mengingat Menurut Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara disebutkan bahwa Uang BUMN adalah Uang Negara; (2) Pasal 155 UU Perseroan Terbatas yang menyebutkan “Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana.”
Uang BUMN adalah Uang Negara yang didasarkan pada: Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003) “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi: (g). Kekayaan negara kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hal lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” .
Penjelasan Umum UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999) “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Tindak Pidana Korupsi
PASAL 2 UU TIPIKOR, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). PASAL 3 UU TIPIKOR ,Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur Yang Harus Dipenuhi
Dalam membuktikan Perilaku Koruptif dalam pengambilan keputusan maka harus dibuktikan: Niat jahat (mens rea) dan Perbuatan jahat (actus reus).
Pasal 2 UU Tipikor: Niat Jahat secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Pasal 3 UU Tipikor: Niat Jahat yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Business Judgment Rule (BJR)
Pasal 97 ayat (5) menyebutkan: Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Di beberapa negara prinsip BJR diterapkan antara lain bila: Dalam pengambilan keputusan telah melakukannya atas dasar itikad baik (good faith). Dalam pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan dari perusahaan (fiduciary duty); dalam pengambilan keputusan telah didasarkan pada pengetahuan/data yang memadai (informed basis); dalam pengambilan keputusan tidak melakukannya dengan berhambur-hambur (duty of care); dalam pengambilan keputusan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty).
Jaminan Perlindungan Direksi
Agar auditor dan aparat penegak hukum tidak selalu mengkatagorikan kerugian BUMN sebagai Tindak Pidana Korupsi maka perlu disusun Kode Etik BJR. Kode Etik BJR ini dijadikan patokan ketika suatu keputusan diambil oleh manajemen. Dalam Kode Etik BJR ini terpenting bukan saja keputusan yang diambil dengan itikad baik dan lain-lain tetapi memastikan keputusan diambil tanpa adanya Niat dan Perbuatan Jahat.
Kode Etik dalam BJR memiliki peran sama dengan Kode Etik profesi seperti Dokter, Advokat dll. Dengan adanya Kode Etik maka diketahui secara jelas mana keputusan yang merupakan risiko bisnis dan bukan suatu tindak pidana. Jangan sampai manajemen berada tidak mengambil keputusan atau mengambil keputusan dengan berbagai perlindungan yang tidak perlu dan menyebabkan biaya tambahan padahal pengambil keputusan serupa di perusahaan swasta tidak mengarah pada masalah pidana. Manajemen di BUMN tidak seharusnya berada dalam dilema: perusahaan maju namun dirinya berpotensi dijerat secara pidana atau perusahaan tidak maju namun dirinya aman dalam jeratan pidana
HAMBATAN DAN RESIKO YANG DITIMBULKAN DARI BJR
Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, hambatan utama dalam penerapan BJR adalah tidak adanya ketentuan rinci di Indonesia terkait BJR. Hambatan kedua adalah BJR tidak dipahami oleh aparat penegak hukum yang berkaitan dengan masalah pidana. Sementara resiko yang dihadapi adalah terseretnya Manajemen ke ranah pidana dengan sangkaan hingga vonis sebagai pelaku tindak pidana korupsi.