UPAYA HUKUM TERDAKWA YANG DIVONIS HUKUMAN PIDANA MATI

 In Articles

Gavriel Gulo, S.H.

Hukum Pidana di Indonesia saat ini masih memberlakukan sanksi berupa Pidana Mati. Hukuman tersebut berlaku untuk  setiap Warga Negara Indonesia yang terbukti secara sah dan meyakinkan oleh suatu putusan pengadilan melakukan suatu tindak pidana tertentu seperti narkotika, korupsi, pembunuhan berencana, dan lain sebagainya. Pengaturan terkait sanksi atas suatu tindak pidana diatur di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menjelaskan sebagai berikut,

Pidana terdiri atas:

  1. pidana pokok: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan.
  2. pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.

Pelaksanaan pidana mati di Indonesia mengacu kepada ketentuan dalam  Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer (“Penpres 2/1964”). Dalam ketentuan tersebut pelaksanaan eksekusi terpidana mati di Indonesia dilaksanakan dengan cara ditembak. Namun sebelum hal tersebut terjadi, seorang terdakwa yang divonis hukuman mati oleh suatu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dapat mengajukan upaya-upaya hukum agar terhindar dari hukuman mati tersebut. Upaya hukum yang dapat ditempuh antara lain dengan mengajukan upaya hukum Banding, upaya hukum Kasasi, upaya hukum Peninjauan Kembali, hingga mengajukan Grasi kepada Presiden.

UPAYA HUKUM BANDING

Seorang terdakwa yang divonis dengan hukuman mati oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama tentu memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Tenggang waktu pengajuan upaya hukum banding adalah 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir berdasarkan Pasal 233 ayat (2) KUHAP. Pada tingkat banding, terdakwa dapat mengajukan memori banding atau kontra memori banding kepada Pengadilan Tinggi sebelum dimulainya pemeriksaan perkara dalam tingkat banding berdasarkan Pasal 237 KUHAP.

  1. Yahya Harahapdalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali(hal. 485), memberikan pengertian memori banding yaitu uraian atau risalah yang disusun oleh pemohon banding yang memuat tanggapan terhadap sebagian maupun seluruh pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Di dalam tanggapan tersebut pemohon mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan kewenangan mengadili, penerapan, dan penafsiran hukum yang terdapat dalam putusan. Memori banding juga dapat mengemukakan hal-hal baru atau fakta dan pembuktian baru, dan meminta supaya hal-hal atau fakta baru itu diperiksa dalam suatu pemeriksaan tambahan.

UPAYA HUKUM KASASI

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas hari) sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa berdasarkan Pasal 245 ayat (1) KUHAP.

Pemeriksaan di tingkat kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) yang berbunyi,

(2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu berserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir.

(3) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)’untuk mendeng’ar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.”

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI

Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali ini tidak dibatasi jangka waktu berdasarkan Pasal 264 KUHAP. Peninjauan kembali oleh terpidana mati diatur dalam Pasal 263 KUHAP yang berbunyi,

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.

(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :

  1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
  2. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
  3. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”

Atas upaya hukum sebagaimana dijelaskan diatas, seorang terdakwa yang divonis dengan hukuman pidana mati memiliki kemungkinan untuk dapat diputus bebas (vrijspraak) yakni tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim, maupun diputus lepas (onslag van recht vervolging) yakni segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat atau hukum dagang.

Seorang terdakwa juga dapat diputus secara sah dan meyakinkan dihukum pidana, namun sanksi pidana yang diberikan bisa tetap berupa pidana mati maupun berubah menjadi sanksi pidana lain yang telah diatur dalam Pasal 10 KUHP.

GRASI

Seorang terpidana yang dihukum dengan pidana mati memiliki hak untuk mengajukan Grasi yang ditujukan kepada Presiden melalui surat tertulis yang dibuat oleh terpidana maupun kuasa hukumnya, keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana maupun tanpa persetujuan terpidana.

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.” Pasal 1 angka 1 UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi (“UU GRASI”).

Atas permohonan Grasi tersebut, Presiden dapat mengabulkan atau menolak permohonan Grasi setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Grasi, pemberian Grasi oleh Presiden dapat berupa:

a.peringanan atau perubahan jenis pidana;

b.pengurangan jumlah pidana; atau

c.penghapusan pelaksanaan pidana.

Adapun, pengajuan upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa tersebut menunda pelaksanaan eksekusi pidana mati. Dalam menunggu pelaksanaan eksekusi pidana mati, seorang terpidana ditahan dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa berdasarkan Pasal 5 Penpres 2/1964.

KESIMPULAN

Seorang terdakwa yang divonis dengan pidana mati di pengadilan tingkat pertama memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum berupa upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Dalam prosesnya, penjatuhan sanksi pidana dapat berubah menjadi lebih ringan, berat, maupun tetap sama yang mana hal tersebut berdasarkan penilaian hakim pada setiap tingkatannya. Selain daripada upaya hukum melalui jalur litigasi/pengadilan, terdakwa yang divonis dengan hukuman mati dapat mengajukan Grasi kepada Presiden untuk dapat dibebaskan maupun mendapatkan peringanan/perubahan hukuman.

Recent Posts

Send this to a friend