HUKUM PEMBAGIAN WARIS BEDA AGAMA
Gianvilla Erry Chandra A.D.H., S.H. M.Kn.
Pengertian kata “warisan” dalam konsep hukum waris pada dasarnya tidaklah rumit yaitu segala sesuatu harta/barang maupun peninggalan yang diturunkan oleh pewaris kepada yang menerima waris (ahli waris). Pengertian ini didukung oleh Subekti di dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, lebih lanjut lagi ia berpendapat bahwa “mengenai hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan”. Dalam hukum waris juga berlaku suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya.”
Dalam prakteknya di Indonesia pewarisan beda agama tidak jarang terjadi. Adapun yang dimaksud beda agama disini adalah antara pewaris dan ahli waris memiliki kepercayaan yang berbeda, terkait pengertian pewarisan telah tertuang di dalam 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa :
Pewarisan hanya terjadi karena kematian
Bahwa sebagaimana dimaksud di atas jelas bahwa bilamana pewaris telah meninggal dunia maka segala harta dan peninggalan sipewaris akan jatuh ke tangan ahli waris. Ahli waris disini juga memiliki kriterianya sendiri, kriteria tersebut terdapat di dalam pasal 832 KUHPerdata yang membagi ahli waris menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
- Golongan I terdiri dari suami atau isteri yang ditinggalkan, anak-anak sah, serta keturunannya;
- Golongan II terdiri dari ayah, ibu, dan saudara kandung pewaris;
- Golongan III terdiri dari Kakek, nenek, dan keluarga dalam garis lurus ke atas;
- Golongan IV terdiri dari saudara dalam garis ke samping, misalnya paman, bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam, dan saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam.
Berdasarkan konsep hukum waris perdata, perbedaan agama bukan menjadi pembatas antara pewaris dan juga ahli waris, jika dilihat dari sudut prespektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak ada satu pasal pun yang secara terfokus melarang pewarisan terhadap beda agama. Adapun di dalam KHI terdapat 2 (dua) hal yang menyebabkan seseorang tidak dapat mewarisi harta peninggalan, disebutkan di dalam pasal 173 KHI yaitu jika seseorang tersebut telah terbukti dipersalahkan melakukan pembunuhan atau memfitnah si pewaris.
Selain itu jika dilihat di dalam hadist Rasullah SAW diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang menyebutkan bahwa:
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim.
Berdasarkan hadist tersebut bahwa jelas pelarangan untuk saling mewarisi antara pewaris dan ahli waris jika terdapat perbedaan agama. Hal ini memang jelas diatur di dalam hadist, namun disisi lain KHI tidak mengatur secara rinci terkait hal ini namun secara umum terhadap penjelasan di atas jelas bahwa segala pewarisan harus beragama yang sama, yaitu Islam.
Bahwa jika dilihat kembali berdasarkan yurisprudensi di ranah Pengadilan Indonesia telah dikeluarkannya putusan yang mengatur terkait ahli waris nonmuslim yaitu, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 dan Nomor 16/K/AG/2010 yang dengan jelas menegaskan bahwa ahli waris beda agama tetap menerima warisan melalui wasiat wajibah dengan batas perolehan hak waris yaitu tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) harta warisan.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan dalam presepektif hukum keperdataan Indonesia bahwa pewarisan beda agama antara Pewaris dan ahli waris bukan menjadi suatu hambatan untuk melakukan pewarisan, namun tentu jika terjadinya suatu sengketa atas pembagian warisan tersebut juga tetap akan diselesaikan melalui lingkungan Pengadilan Negeri. Terdapat 5 (lima) Langkah yang dapat ditempuh terkait proses pembagian warisan terutama dalam kasus pembagian waris beda agama yaitu :
- Kesepakatan hukum waris apa yang akan digunakan;
- Menentukan harta warisan sipewaris;
- Menyepakati terkait penetuan siapa yang akan menjadi ahli waris sipewaris;
- Menyepakati perhitungan pembagian waris kepada seluruh ahli waris;
- Membuat kesepakatan tertulis terhadap pembagian waris.