Implementasi Prinsip Ultimum Remedium Terhadap Keterlanjuran Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit di Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja
Syafira Almutahaliya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang P3H) mengalami beberapa perubahan setelah keluarnya Undang-Undang Cipta Kerja untuk Kluster Kehutanan. Salah satu bentuk perubahan sebagaimana dimaksud yang juga menjadi fokus kajian dalam tulisan ini ialah mengenai penerapan dari asas ultimum remedium terhadap keterlanjuran kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 37 angka 20 Undang-Undang Cipta Kerja yang merubah pengenaan pidana terhadap kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan, yang telah ditegaskan pada Pasal 92 Undang-Undang P3H.
A. Prinsip Ultimum Remedium
Prinsip ultimum remedium merupakan salah satu prinsip hukum pidana yang menyatakan bahwa tindakan hukum pidana harus diambil sebagai pilihan terakhir ketika tindakan hukum lain sudah tidak memungkinkan atau tidak efektif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Secara sederhana, asas ultimum remedium dapat dipahami dengan hukum pidana secara normatif dianggap sebagai upaya terakhir dalam rangka melindungi kepentingan bersama. Maksudnya ialah apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.
B. Undang-Undang Cipta Kerja Kluster Kehutanan
Ketentuan mengenai kehutanan diatur pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta diatur juga pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sebagai salah satu bentuk pengembangan pengaturan sektor kehutanan, juga terdapat beberapa pembaharuan yang ditegaskan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut Undang-Undang Cipta Kerja). Secara prinsip Undang-Undang Cipta Kerja dirancang untuk mendukung perubahan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Salah satu substansinya dengan menerapkan izin usaha berdasarkan risiko dan menyederhanakan mekanisme izin usaha, termasuk di sektor kehutanan. Dengan diterapkannya Undang-Undang Cipta Kerja, perusahaan dapat mengembangkan berbagai jenis usaha kehutanan, termasuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemanfaatan jasa lingkungan untuk mengoptimalkan kawasan hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
C. Implementasi Prinsip Ultimum Remedium terhadap Keterlanjuran Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit di Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja
Sebelum keberadaan ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja mengenai keterlanjuran kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, pada Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang P3H telah ditegaskan mengenai larangan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan dan kemudian ditegaskan pula ketentuan pidana terhadap pelanggaran tersebut pada Pasal 92 Undang-Undang P3H. Lebih lanjut, pada Pasal 129 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, ditegaskan pula bahwasannya sawit tidak termasuk ke dalam tanaman kehutanan. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan merupakan kegiatan yang dilarang untuk dilakukan di dalam kawasan hutan. Semenjak pemberlakukan Undang-Undang Cipta Kerja kluster Kehutanan, khususnya Pasal 37 angka 20 Undang-Undang Cipta Kerja, berdampak dengan menghasilkan beberapa perubahan terhadap Undang-Undang P3H. Keterlanjuran kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, berdasarkan Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang P3H akan diterapkan prinsip ultimum remedium terhadap keterlanjuran kegiatan tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, ditegaskan makna Keterlanjuran, yaitu:
“Keterlanjuran adalah kondisi di mana Izin, Konsesi, Hak Atas Tanah, dan/atau Hak Pengelolaan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang pada saat itu berlaku, namun menjadi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.”
Ditegaskan bahwasannya setiap orang yang melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan sebelum disahkannya UndangUndang Cipta Kerja atau dikenal juga dengan istilah Keterlanjuran, maka dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, akan diimplementasikan asas ultimum remedium terhadapnya.Penerapan asas ultimum remedium terhadap keterlanjuran kegiatan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan ditegaskan pada Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang P3H. Merujuk pada Pasal 110 A Undang-Undang P3H ditegaskan bahwasannya keterlanjuran kegiatan usaha yang telah memiliki Perizinan berusaha sebelum disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, namun belum memiliki Perizinan di bidang kehutanan, diselesaikan dengan menyelesaikan perizinan dan membayar provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (PSDHDR). Selanjutnya, ditegaskan pada Pasal 110 B Undang-Undang P3H mengenai pengenaan sanksi administrasi terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 Ayat (2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf e Undang-Undang P3H yaitu, larangan melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri, larangan mengangkut serta menerima titipan hasil dari perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan; larangan memperdagangkan serta mengolah hasil kebun dari perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan. Sanksi administratif yang akan dikenakan dari pelanggaran tersebut berupa pemberhentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda, hingga paksaan pemerintah.
Pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 110 A dan Pasal 110 B Undang-Undang P3H diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Ditegaskan bahwasannya pada setiap keterlanjuran kegiatan perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Cipta Kerja berlaku, jika melewati batas waktu maka dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda, pencabutan Perizinan Berusaha, dan/atau paksaan pemerintah.
Kesimpulan
Penerapan prinsip ultimum remediumterhadap keterlanjuran kegiatan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan lahir ketika sanksi administratif yang ditegaskan di dalam Pasal 110 A dan 110 B,tidak diindahkan oleh subyek hukum keterlanjuran kegiatan perkebunan kelapa sawit. Oleh sebab itu akan dikenakan pidana terhadap pelanggaran Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mana diancam pidana yang ditegaskan pada Pasal 92 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.