Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Artificial Intelligence (AI)
Syafira Almutahaliya
Fitur pada Artificial Intelligence (selanjutnya disebut dengan AI) yang kompleks membuatnya menjadi sangat mirip dengan cara berpikir manusia. Pemodelan kognitif dan teknik berpikir rasional memberikan lebih banyak fleksibilitas dan memungkinkan penciptaan program yang memiliki dapat memproses sesuatu layaknya otak manusia (brain activity processes). AI yang terus berkembang menjadi semakin kompleks, maka upaya pembuatan hukum untuk AI di Indonesia harus segera dipersiapkan sejak dini. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak negatif dari AI yang sudah super intelligence. Secara konseptual, semakin cerdas suatu sistem, semakin besar kemungkinan akan melakukan tindakan yang menimbulkan akibat hukum.
A. Artificial Intelligence
Secara garis besar AI merupakan sebuah sistem pada bidang teknologi komputer yang diciptakan untuk meniru pola perilaku hingga kecerdasan otak manusia dalam melakukan sebuah keterampilan atau memecahkan permasalahan. Secara fungsional, AI memiliki fungsi yang kurang lebih sama dengan robot, namun, AI hadir dalam tampilan yang berbeda yang berupa sistem komputer yang ditampilkan dalam bentuk visual. Dapat dikatakan bahwa AI merupakan otak dari sebuah robot.
B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Artificial Intelligence
Uni Eropa merupakan salah satu kawasan yang telah memberlakukan peraturan terkait AI dan hal tersebut perlu diimplementasikan di Indonesia. Kekosongan hukum yang mengatur AI di Indonesia menyebabkan tidak terwujudnya kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia.Kemudian kekosongan hukum mengenai AI juga menyebabkan tidak terangnya kedudukan hukum dan pertanggungjawaban hukum oleh AI. Berdasarkan sudut pandang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pihak-pihak yang mendapatkan kedudukan dalam hukum sebagai subjek hukum dan dikenai unsur pertanggungjawaban pidana hanyalah manusia dan korporasi.
Istilah pertanggungjawaban dalam hukum pidana dikenal dengan toerekenbaarheid dalam bahasa Belanda dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan criminal responsibility atau criminalliability. Pompe menjelaskan pertanggungjawaban pidana dalam batasan unsur-unsur yaitu kemampuan berpikir pada pelaku yang memungkinkan menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya, pelaku dapat mengerti makna dan akibat dari tingkah lakunya serta pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat tingkah lakunya). Seseorang atau pelaku tindak pidana tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum. Namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah dia selalu dapat dipidana, orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan. Adapun syarat-syarat dapat tidaknya dimintai pertanggungjawaban pidana kepada seseorang, yaitu:
- Adanya Kemampuan Bertanggung Jawab
Kemampuan bertanggun jawab dapat dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana untuk menetukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jika orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.
- Adanya Kesalahan (Kesengajaan dan Kelalaian)
Pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subective guilt). Disinilah pemberlakuan Asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (geen straf zonder schuld) atau Nulla Poena Sine Culpa. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkeheid rechttens). Kesalahan terdiri dari beberapa unsur yakni :
- Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.
- Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupakesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), disebut bentuk-bentuk kesalahan.
- Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Berdasarkan hukum positif Indonesia yang saat ini berlaku, AI tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena belum adanya penegasan mengenai AI sebagai subjek hukum.Sejauh ini di Indonesia AI dipahami sebagai objek hukum, sehingga tanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan oleh AI tetap melekat pada pengguna AI atau yang mengoperasikan AI. Keberadaan doktrin Vicarious Liability pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga menjadi acuan dalam menentukan kedudukan pertanggungjawaban pidana AI. Ditegaskan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwasannya Setiap Orang dapat dimintai pertanggungjawaban yang dilakukan oleh orang lain. Maka dapat dipahami apabila AI tersebut masih semi otonom, maka ketika AI tersebut melakukan kesalahan dapat dibebankan tanggung jawab pidana adalah penggunanya. Dalam hal ini akan diterapkan doktrin pertanggung jawaban pengganti (Vicarious Liability). Doktrin ini pada pokoknya menyebutkan bahwa orang lain dapat bertanggungjawab terhadap perbuatan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (atau entitas lain).Pertanggungjawaban pidana oleh AI juga dapat didasarkan atas doktrin In Loco Parentis, dengan pemahaman bahwasannya AI dianalogikan sebagai anak, sehingga tanggung jawab hukum dibebankan kepada penggunanya.
Selain itu, jika AI sudah fully otonom, maka kesalahan yang dilakukan oleh AI akan dibebankan pertanggungjawaban pidananya kepada AI tersebut. Pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan pada AI dapat berupa penonaktifan subjek atau mesin, pemrograman ulang, atau dengan “hukuman” yang paling berat berupa penghancuran terhadap subjek AI.
Kesimpulan
Berdasarkan hukum positif Indonesia yang saat ini berlaku, AI tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena belum adanya penegasan mengenai AI sebagai subjek hukum. Pertanggungjawaban pidana oleh AI dapat didasarkan atas doktrin Vicarious Liability yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, dan/atau doktrin In Loco Parentis, yang pada dasarnya membebankan pertanggungjawaban pidana AI kepada pengguna atau yang mengoperasikan AI tersebut. Dilatarbelakangi kekosongan hukum mengenai AI, konsep pertanggungjawaban AI lainnya ialah pertanggungjawaban pidana yang dibebankan pada AI itu sendiri dengan penonaktifan subjek atau mesin, pemrograman ulang, atau dengan “hukuman” yang paling berat berupa penghancuran terhadap subjek AI.