Kawin Paksa Dalam Perspektif Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

 In Articles

Gavriel Gulo

Di Indonesia kawin paksa merupakan hal yang cukup lazim didengar dan dapat ditemukan dibeberapa adat kebiasaan disuatu daerah. Adapun kawin paksa sering kali diterapkan pada kasus-kasus tertentu seperti menjadi korban pelecehan seksual, hamil diluar nikah, perjodohan, dan lain sebagainya.  Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), maka pemaksaan perkawinan tersebut merupakan salah satu jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan diancam dengan sanksi pidana penjara maupun denda.

Di dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS menyatakan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

  1. pelecehan seksual nonfisik
  2. pelecehan seksual fisik
  3. pemaksaan kontrasepsi;
  4. pemaksaan sterilisasi;
  5. pemaksaan perkawinan;
  6. penyiksaan seksual;
  7. eksploitasi seksual;
  8. perbudakan seksual; dan
  9. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Pemaksaan perkawinan merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan pasal 10 ayat (1) UU TPKS yang berbunyi,

Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Adapun yang termasuk pemaksaan perkawinan berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU TPKS ialah

  1. perkawinan Anak;
  2. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau
  3. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.

Dalam hal telah dilaksanakan pemaksaan perkawinan anak dan di dalam perkawinan tersebut juga terjadi pemaksaan terhadap anak tersebut untuk melakukan persetubuhan / hubungan seksual, maka pelaku dapat diancam dengan pasal 76D Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perbuahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2022 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) Jo. Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan Anak Jo. Pasal 6 huruf c UU TPKS Jo. Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU TPKS.

Di Indonesia, masih banyak praktik budaya atau hukum adat yang seringkali melakukan praktik perkawinan paksa. Seperti contohnya praktik Kawin Tangkap di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kawin Tangkap berdasarkan pernyataan dari Pendeta Aprissa L. Taranau (didalam artikel berjudul “Kawin Paksa: Janji Terucap karena Tuntutan Adat” oleh VOA Indonesia), terjadi ketika seorang laki-laki menangkap, dan bahkan bisa bermakna menculik perempuan untuk dijadikan istrinya secara paksa.

Ada juga istilah kawin jebakan di daerah adat tertentu. Pasangan muda mudi didapati sedang berduaan di ruang tamu maupun di dalam kamar. Kemudian didatangi warga setempat dan diduga telah melakukan perbuatan tercela yg mencoreng adat setempat. Biasanya pemuda yang dinilai mapan akan dibiarkan berkunjung ke rumah wanita yang disukainya. Orang tua si wanita sengaja membiarkan pasangan muda mudi tersebut berduaan. Kemudian diam diam memberitahu warga untuk melakukan tangkap tangan. Alhasil mereka dipaksa kawin karena didapati sedang berduaan walaupun si pria masih dalam tahap suka dan penjajakan lebih jauh. Kalu sudah ketangkap begini terpaksa kawin. Motifnya adalah ekonomi, degan harapan si pria bisa memperbaiki keadaan ekonomi keluarga si wanita dengan terjadinya perkawinan dimaksud.

Perbuatan kawin tangkap maupun kawin jebak tersebut bermerupakan pemaksaan perkawinan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf b UU TPKS merupakan pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya Sumba. Sejak diundangkannya UU TPKS ini, maka  hukum adat kawin tangkap tersebut dinyatakan perbuatan yang diancam sanksi pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Ancaman sanksi pidana ini juga berlaku terhadap perkawinan anak secara paksa dan kasus pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan. Bahwa hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan juga menyatakan terkait syarat perkawinan bahwa,

Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Maka, pengaturan terhadap praktik pemaksaan perkawinan yang diatur didalam UU TPKS telah sesuai dengan prinsip pengaturan perkawainan di dalam UU Perkawinan.

Kesimpulan

Pemaksaan perkawinan adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana paling lama 9 (sembilan) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) berdasarkan UU TPKS. Adapun yang termasuk pemaksaan perkawinan tersebut ialah pemaksaan perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan. Pengaturan mengenai pemaksaan perkawinan dalam UU TPKS ini telah sesuai dengan dengan prinsip pengaturan perkawinan di dalam UU Perkawinan.

Recent Posts

Send this to a friend