MENYOAL KOMPETENSI ABSOLUT KEPUTUSAN DIREKSI BUMN
Faiz Emery Muhammad, S.H.
Sampai saat ini, masih terdapat perbedaan kompetensi absolut apakah Keputusan Direksi BUMN merupakan objek Pengadilan Tata Usaha Negara (Selanjutnya disebut dengan “PTUN”) atau Pengadilan Negeri (Selanjutnya disebut dengan “PN”). Hal ini belum adanya kepastian yang mengakibatkan ketidakjelasan gugatan harus dibawa ke lembaga peradilan mana jika ada seseorang atau badan hukum yang dirugikan dari Keputusan Direksi BUMN. Hal ini banyak terjadi mengenai persoalan hukum yang menyangkut hak-hak seseorang sebagai karyawan yang tidak dipenuhi. Lalu bagaimanakah kompetensi absolut yang tepat untuk diterapkan terhadap keputusan BUMN tersebut?
PENGERTIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)
Pengertian Badan Usaha Milik Negara bila merujuk pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 19 tahun 2003 adalah “badan usaha yang sebagian ataupun seluruh besar modalnya merupakan milik negara melalui penyertaan secara langsung yang asalnya dari kekayaan negara yang dipisahkan”. BUMN adalah salah satu pelaku yang melaksanakan perekonomian nasional demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
PENAFSIRAN HAKIM DI PENGADILAN MENGENAI KEPUTUSAN BUMN DARI BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Terdapat beberapa kasus hukum yang berkaitan dengan hak karyawan dan sebenarnya sudah sering terjadi. Salah satu kasus yang pernah ada yaitu keputusan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (Selanjutnya disebut dengan “PHK”) massal yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) terhadap 162 karyawannya berdasarkan Surat Keputusan No. 038 dan No. 041 yang statusnya adalah Pekerja Waktu Tertentu (PWT/PKWT). Para karyawan tersebut tidak terima karena Direksi PT. Pertamina (Persero) telah melanggar mekanisme penyelesaian PHK. Akhirnya para karyawan tersebut mengajukan persoalan tersebut ke PTUN. Pada saat dibacakan putusannya di PTUN, pihak karyawan memenangkan kasusnya dan Pihak PT. Pertamina (Persero) dianggap melanggar Pasal 16 SK MENAKERTRANS No. 100/MEN/VI/2004 dan juga diperintahkan untuk mencabut SK No. 038 dan No. 041 tersebut. Setelah itu, pihak PT. Pertamina (Persero) mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan “PTTUN”) di Jakarta dan dikabulkan oleh Hakim, dikarenakan objek yang digugat sebelumnya oleh para pihak karyawan di PTUN Jakarta berupa SK bukan merupakan objek TUN melainkan hanya keputusan internal yang bersifat umum di sebuah perusahaan dan pertimbangan lainnya bahwa memang PTTUN tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. Para karyawan setelah mengetahui hasil dari putusan PTTUN Jakarta pun tidak menerima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), akan tetapi hasilnya yang didapatkan sama saja bahwa sebagaimana tercantum dalam Putusan Kasasi No.483 K/TUN/2006, SK Direksi Pertamina tersebut bukan Keputusan Tata Usaha Negara karena tidak bisa dijadikan objek sengketa TUN.
Karyawan pun masih tidak terima dan pada akhirnya mengajukan peninjauan kembali perkara tersebut. Hasilnya Hakim di Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa para karyawan harus kembali dipekerjakan dan perlu untuk diubah statusnya menjadi Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Di dalam Kasus ini terdapat Dissenting Opinion dan/atau Penafsiran yang berbeda dari tiap hakim tersebut sudah lama terjadi meskipun telah ada peraturannya berupa Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2016 dan pedoman khusus No.052/TD.TUN/III/1992.
Adapun pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang menolak suatu keputusan direksi sebagai Objek TUN dan BUMN sebagai badan atau sebagai pejabat TUN yaitu :
- Hakim beranggapan bahwa jika dilihat dan/atau dikaji dari Keputusan Tata Usaha Negara mengenai UU Nomor 51 Tahun 2009 sebagaimana perubahan terhadap Pasal 1 Angka 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 merupakan ketentuan “kumulatif”. Ketentuan tersebut memiliki arti bahwa jika ingin dianggap sebagai objek sengketa di TUN, maka harus terpenuhinya segala unsur pada ketentuan tersebut dan jika ada salah satu unsur tidak terpenuhi maka gugatan otomatis dianggap tidak dapat diterima. Bunyi pasalnya adalah sebagai berikut : “keputusan tata usaha negara adalah suatu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara (TUN) yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
- Salah satu unsur yang bisa untuk dijadikan objek sengketa TUN yaitu tindakan hukum tata usaha negara.
Adapun pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang menerima suatu keputusan direksi sebagai obyek TUN dan BUMN sebagai badan atau sebagai pejabat TUN yaitu :
- Pengertian Pejabat (TUN) itu sendiri lebih cenderung kepada fungsi Pejabat tata usaha negara itu sendiri, yang berarti bahwa selama Pejabat tata usaha negara bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apa yang Pejabat tersebut kerjakan mengenai kerjaan yang berkaitan dengan pemerintahan maka pejabat tersebut telah memenuhi Pasal 1 Angka 8 Angka 12 Nomor 51 Tahun 2009.
- Objek sengketa dari apa yang telah dilakukan tergugat adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan.
PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI INKONSISTENSI KOMPETENSI ABSOLUT KEPUTUSAN BUMN PADA KASUS PERUM PDD
Pada Permohonan uji materi Pada Pasal 1 angka (7),(8), dan (9) Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XV/2017.
Pada perkara ini, Pemohon adalah seseorang pensiunan dalam Perusahaan BUMN yaitu Perusahaan Negara Pengangkutan Penumpang Jakarta (Selanjutnya disebut dengan “PERUM PDD”). Pemohon telah dirugikan karena hak nya tersebut yakni untuk mendapatkan uang pensiunan per bulan, tetapi Perusahaan tersebut tidak memenuhinya, seperti yang sudah tercantum dalam Peraturan Perundang-Undangan untuk Pegawai Negeri Sipil dan tidak adanya pengakuan dan jaminan sebagai pensiunan PERUM PDD. Pemohon mengajukan hal tersebut karena tidak dicantumkan di perjanjian kerja bersama di bidang Ketenagakerjaan.
Kerugian yang dialami oleh Pemohon sebelumnya telah diajukan ke PTUN, namun permohonan tersebut tidak bisa diterima dengan pertimbangan karena permasalahan yang diajukan bukan merupakan kewenangan PTUN. Alasannya berupa permasalahan tersebut merupakan ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi kewenangan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).
KESIMPULAN
Permasalahan hukum BUMN seperti ini memang sudah lama diketahui oleh Mahkamah Agung (MA) walaupun telah dibuatkan pedoman khusus No.052/TD.TUN/III/1992, namun pelaksanaannya di Pengadillan banyak terjadi perbedaan diantara para hakim di PTUN, ada yang menerima meskipun pihak tergugatnya adalah pihak BUMN dan juga menolak karena pihak tergugatnya adalah pihak BUMN. Begitupun para hakim ada yang beranggapan bahwa perkara Keputusan Direksi BUMN sebagai Objek TUN ada juga yang beranggapan tidak.