PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) PADA PIPA GAS BUMI
D Wiston, S.H., M.H.
PBB tidak sama dengan BPHTB. Objek PBB adalah bumi dan bangunan sedangkan objek BPHTB adalah nilai perolehan atas bumi dan bangunan tersebut. Apakah pipa gas masuk dalam kategori bangunan sehingga menjadi objek PBB dan BPHTB yang dipungut pemerintah daerah?
Pajak merupakan pungutan wajib atas setiap wajib pajak untuk dibayarkan kepada negara dan akan digunakan untuk kepentingan umum. Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan pemerintah untuk melakukan pembangunan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia terdiri dari dua bagian yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat merupakan pajak-pajak yang ditagih dan/atau dikelola oleh pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. BPHTB merupakan pungutan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah sehingga besaran nilai pajak setiap daerah akan berbeda-beda setiap daerah disebabkan pajak BPHTB diatur pada peraturan daerah masing-masing. Adapun penjelasan mengenai BPHTB pada pipa gas bumi dapat diuraikan dibawah ini.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Pada Pipa Gas Bumi
Sistem pemungutan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) adalah self assessment artinya wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan surat pemberitahuan pajak daerah (SPTPD). BPHTB diatur dalam UU No 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU BPHTB). Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU BPHTB dijelaskan bahwa bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan selanjutnya dijelaskan pada Pasal 1 Ayat (2) UU BPHTB yang dimaksud perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Penjelasan Pasal 1 Ayat (2) UU BPHTB menegaskan objek pajak BPHTB adalah setiap perolehan atas tanah dan bangunan. Adapun macam macam perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai berikut:
I. Pemindahan hak karena:
- Jual beli;
- Tukar menukar;
- Hibah;
- Hibah wasiat;
- Waris;
- Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
- Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
- Penunjukan pembelian dalam lelang;
- Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap;
- Penggabungan usaha;
- Peleburan usaha;
- Pemekaran usaha;
II. Pemberian hak baru karena:
- Kelanjutan pelepasan hak;
- Di luar pelepasan hak.
Dasar pengenaan pajak adalah nilai perolehan objek pajak. Apabila nilai perolehan objek pajak tidak diketahui atau lebih rendah, maka nilai jual objek pajak yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah nilai jual objek pajak bumi dan bangunan. Jika nilai perolehan objek pajak bumi dan bangunan belum ditetapkan, besaran nilai jual objek pajak bumi dan bangunan ditetapkan oleh Menteri. Adapun nilai perolehan objek pajak yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) pada pokoknya mengatur bahwa nilai perolehan objek pajak dalam hal:
- Jual beli adalah harga transaksi;
- Tukar menukar adalah nilai pasar;
- Hiibah adalah nilai pasar;
- Hibah wasiat adalah nilai pasar;
- Waris adalah nilai pasar;
- Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
- Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
- Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
- Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
- Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
- Peleburan usaha adalah nilai pasar;
- Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
- Hadiah adalah nilai pasar;
- Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum risalah lelang.
Sedangkan nilai perolehan objek pajak yang tidak dikenakan pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Ketentuan nilai perolehan tidak kena pajak diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah masing-masing sedangkan tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5 % dari nilai perolehan objek pajak. Adapun secara umum rumus penghitungan pajak BPHTB sebagai berikut:
*Rumus penghitungan BPHTB
BPHTB = TARIF X (NPOP – NPOPTKP)
|
Selanjutnya, pengenaan pajak BPHTB pada pipa gas bumi perlu diperhatikan terlebih dahulu bentuk perolehan objek pajak tersebut, jika perolehan objek pajak melalui jual beli, maka nilai perolehan objek pajak adalah harga/nilai transaksi pada kegiatan jual beli tersebut. Dalam hal kegiatan jual beli tanah/lahan, perlu diperhatikan apakah telah berdiri bangunan di atasnya dan/atau tanaman/tumbuhan yang tumbuh di atasnya. Setiap bangunan yang berdiri di atas tanah/lahan dalam transaksi jual beli baik yang termasuk maupun bukan bagian dari objek transaksi jual beli merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penghitungan nilai perolehan objek pajak atau dengan kata lain setiap bangunan/tumbuhan yang berada di atas lahan objek transaksi jual beli merupakan satu kesatuan dari nilai perolehan objek pajak. Namun, dalam keadaaan pembelian tanah/lahan yang telah dibangun/ditanamkan pipa gas bumi di bawahnya, maka yang menjadi nilai perolehan objek pajaknya adalah nilai transaksi jual beli atas tanah/lahan saja. Mengingat, tidak ada ketentuan yang menyatakan pipa gas bumi merupakan bagian dari pengertian bangunan. Pengertian bangunan tidak dijelaskan dalam ketentuan UU BPHTB melainkan dijelaskan dalam ketentuan Pasal 77 Ayat (2) Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (“UU PDRD”) yang pokoknya menjelaskan bagian konstruksi yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
- Jalan lingkungan yang terletak satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
- Jalan tol;
- Kolam renang;
- Pagar mewah;
- Tempat olahraga;
- Galangan kapal, dermaga;
- Taman mewah;
- Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
Berdasarkan ketentuan Pasal 77 Ayat (2) UU PDRD, pipa gas bumi tidak termasuk dalam pengertian bangunan. Berbeda hal nya dengan pipa minyak bumi yang secara jelas dan tegas diatur dalam pengertian bangunan. Dengan demikian, pipa gas bumi bukan merupakan bagian dari komponen baik dalam penghitungan PBB maupun dalam penghitungan nilai perolehan objek pajak BPHTB. Dalam prakteknya masih banyak ditemukan kekeliruan penafsiran oleh dinas pendapatan daerah mengenai pengertian bangunan. Objek pajak PBB adalah bumi dan bangunan sedangkan objek pajak BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. Akibatnya, banyak timbul keberatan oleh wajib pajak atas surat ketetapan pajak daerah disebabkan kekeliruan penghitungan pajak yang menyebabkan menambah beban pajak wajib pajak sehingga tidak sedikit menimbulkan perselisihan antara pemungut pajak dan wajib pajak pada pengadilan pajak.
Namun, perlu dicatat bahwa hal demikian tidak berlaku untuk jaringan pipa gas yang berada di lepas pantai meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, laut pedalaman, zona ekonomi eksklusif ( ZEE) Indonesia dan perairan di dalam batas landas kontinen Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2015 tentang tata cara pengenaan pajak bumi dan bangunan sektor lainnya dimana pemungut pajak atas PBB tersebut bukanlah pemerintah daerah melainkan Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi. Jelas hal demikian berada pada rezim yang berbeda yakni pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Penulis akan menjabarkannya pada artikel selanjutnya.
KESIMPULAN
PBB adalah pajak atas bumi dan bangunan sedangkan BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pemerintah daerah adalah pemungut pajak dimaksud sesuai dengan UU PDRD. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah pemindahan hak dan perolehan hak baru. Dasar pengenaan pajak adalah nilai perolehan objek pajak dimaksud. Pengenaan pajak BPHTB pada pembelian tanah/lahan yang telah dibangun/ditanamkan pipa gas bumi di bawahnya adalah nilai transaksi jual beli atas tanah/lahan saja. Tidak termasuk nilai jaringan pipa gas nya. Tidak ada ketentuan yang menyatakan pipa gas bumi merupakan bagian dari pengertian bangunan. Sehingga menurut hemat penulis pipa gas bumi baik yang yang tertanam maupun di atas permukaan tanah bukan lah objek PBB dan BPHTB. Pengertian bangunan tidak dijelaskan dalam ketentuan UU BPHTB melainkan dijelaskan dalam ketentuan Pasal 77 Ayat (2) UU PDRD yang pada pokoknya tidak mengatur atau menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa pipa gas bumi merupakan bagian yang termasuk dalam pengertian bangunan. Oleh karena itu, untuk menghindari sengketa pajak atau perbedaan penafsiran wajib pajak dengan pemungut pajak dalam transaksi jual beli tanah/lahan beserta pipa gas bumi agar memisahkan transaksi tersebut menjadi dua transaksi yaitu transaksi jual beli tanah dan transaksi jual beli pipa gas bumi. Dalam hal transaksi jual beli tanah beserta pipa gas bumi digabungkan menjadi satu transaksi akan menyebabkan besarnya beban pajak yang akan ditanggung wajib pajak dikarenakan dasar yang menjadi objek pajak BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. Oleh karenanya, dengan digabungkannya transaksi jual beli tanah beserta pipa gas bumi dalam satu transaksi maka secara tidak langsung menjadi objek BPHTB sekalipun pipa gas bumi bukan termasuk pengertian dalam bangunan. Hal ini yang selalu menjadi dasar timbulnya perbedaan penafsiran dan sengketa pajak antara wajib pajak dan pemungut pajak.