PROBLEMATIKA PENEGAKAN DAN PEMBUKTIAN PASAL 546 TENTANG PIDANA PENJUALAN JIMAT
Michelle Elie Tanujaya
Maraknya praktek jual-beli jimat, keampuhan larangan dalam Pasal 546 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) patut dipertanyakan. Pembiaran aparat negara terhadap praktek jual-beli jimat menjadi topik hangat dikalangan masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata jimat adalah sama dengan azimat, yaitu “barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit dan sebagainya.”
Adapun isi Pasal 546 ayat (1) KUHP adalah,
“Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah:
(1) Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat, penangkal, atau benda lain yang dikatakan olehnya mempunyai kesaktian.”
Dijelaskan oleh S.R. Sianturi bahwa Pasal 546 merupakan penghinaan kepada Tuhan. Disebut oleh S.R. Sianturi bahwa pasal tersebut merupakan perbuatan yang menduakan Tuhan. Sehingga, hukum patut melarang dan menghukum penjualan jimat dan benda yang disebut memiliki kesaktian.
Namun nyatanya, baik dari pihak aparat maupun dari masyarakat sendiri pun sudah mengabaikan pasal ini. Selain dari pihak pemerintah dan masyarakat yang abai, hukumannya pun terbilang cukup ringan (pidana kurungan yang singkat atau denda)..
Masalah Pembuktian Dari Segi Teori Hukum
Hukum acara pidana Indonesia menganut sistem pembuktian “sistem negatif” (negatief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materil. Sistem ini menekankan pada pembuktian yang haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yakni: (1) alat bukti yang cukup; dan (2) keyakinan hakim. Sistem pembuktian negatif ini tersirat dalam Pasal 294 ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“RIB”), yang berbunyi sebagai berikut:
“Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya”.
Adapun sistem peradilan yang lain adalah sistem keyakinan belaka. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan aliran sistem peradilan tersebut sebagai keputusan yang sama sekali tidak membutuhkan peraturan terkait pembuktian dan seluruhnya menyerahkan keputusan kepada kebijaksanaan Hakim dengan segala pendapatnya yang subjektif. Sistem hukum Indonesia menolak sistem keyakinan belaka. Dengan itu, sistem peradilan Indonesia juga menolak keputusan terkait hal-hal yang bersifat gaib dalam sistem hukum acara pidana dikarenakan pembuktiannya yang tidak berdasarkan logika atau bersifat rasional.
Praktek Penegakan Pasal 546 KUHP
Permasalahan dari Pasal 546 KUHP sudah dapat dilihat dari segi prakteknya. Segala larangan yang diatur secara tertulis seharusnya dapat ditegakkan. Maka apa langkah yang akan diambil bila aparat bila menerima laporan terkait Pasal 546?
Pasal 15 huruf (a) Peraturan Kepala Kepolisian No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI mengatur bahwa:
setiap anggota Polri dilarang:
“menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.”
Sehingga peraturan ini membuktikan kewajiban pihak kepolisian untuk menindak segala dugaan pelanggaran hukum yang diatur secara tertulis.
Dikatakan oleh Suharto, SH., penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, kalaupun ada kasus yang meliputi praktek supernatural seperti dalam Pasal 546 KUHP, kemungkinan yang dilakukan aparat adalah untuk mengarahkan penindakan atas delik penipuan (Pasal 378 KUHP) dikarenakan adanya unsur penipuan dari perbuatan tersebut.
Pada praktek sidangnya, adapun perkara yang dibawa ke pengadilan selalu bercampur dengan tindak pidana lain. Putusan pengadilan yang menyangkut perkara terkait jimat dan santet sering mengabaikan aspek supernaturalnya. Jaksa dan hakim lebih banyak menekankan terhadap delik lain yang lebih serius.
Kesimpulan
Penjualan dan penyediaan barang jimat merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Namun, baik dari segi teori maupun dari segi penerapannya di lapangan, Pasal 546 KUHP sulit diterapkan dan penegakannyamasih terbilang rancu. Problematika tentang penjualan dan penawaran barang jimat berakar dari kesulitan pemerolehan keyakinan hakim untuk dapat dijatuhkan putusani. Oleh karena itu, unsur yang dapat ditekankan dari tindakan penjualan barang jimat dapat dikaji dari segi penipuannya dan kerugian yang timbul atas keberadaan penjualan jimat.