TUNTUTAN NAFKAH & HUTANG SUAMI

 In Cases Summary

Muhammad Rizky Tri Saputra

KASUS POSISI :

  • Pada 25 September 1978, seorang gadis bernama Juhara binti Delli, menikah dengan pemuda bernama Moh. Soleh bin Rubai, di KUA Kamal, Kab. Bangkalan Madura dengan Akta Nikah KUA No.245/48/IX/ 1978.
  • Pada saat dilangsungkan pernikahan di KUA Kamal tersebut, pihak Juhara binti Delli telah hamil 3 bulan, karena hubungan pria nikah dengan Moh. Soleh bin Rubai tersebut.
  • Karena Moh.Soleh pengangguran, maka ia berniat mencari kerja ke Jakarta, Karena tidak mempunyai uang modal untuk bekerja di Jakarta, maka dengan bantuan istrinya Juhara telah meminjam uang dari saudara-saudaranya : Ibu Setiani 10 gram gelang mas R.750.000,- Ibu Salati R.1.500.000,- Ibu Musliha Rp.750.000,- dan mbah Sapik Rp.2.000.000,-
  • Dengan modal dari pinjaman ini, maka Moh Soleh bin Rubai pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.
  • Pada tanggal 28 November 1978, Juhara binti Delli melahirkan anak lelaki diberi nama Faisal Soleh.
  • Soleh tiga pulang menjenguk istri dan anaknya itu, namun ia belum berhasil (gagal) memperoleh pekerjaan di Jakarta.
  • Soleh pulang lagi ke Madura, dan ia kawin lagi (poligami) dengan wanita lain, tanpa izin istrinya Juhara.
  • Dengan istri keduanya ini, dilahirkan seorang anak diberi nama Mujib.
  • Soleh kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Beberapa tahun kemudian ia mengirimkan uang 5 kali kepada istrinya, Juhara binti Delli, dengan amanah untuk membayar utangnya kepada saudara-saudara perempuannya.
  • Lima kali kiriman uang dari Moh Soleh tersebut sebagai berikut : I. RP.150.000,- II. Rp. 232.000,- III. Rp.120.000,- IV. Rp.320.000,- V.Rp.499.000,- uang ini telah dibayarkan oleh Juhara kepada orang yang berhak. Namun demikian, masih ada sisa hutangnya Moh Soleh yang belum dibayar.
  • Semenjak Moh Soleh bin Rubai merantau bekerja di Jakarta ia tidak pernah memberi uang nafkah kepada istrinya Juhara binti Delli dan anaknya Faisal Soleh yaitu :
    Tahun 1980 s/d 1983 (6 tahun)
    1 tahun  Rp. 1.825.000,- x 6                        =   Rp.   10.950.000,-

    Tahun 1986 s/d 1993 (8tahun)
    1 tahun Rp. 5.475.000,-x 8 tahun             =   Rp.   43.800.000,-

    Tahun 1994 s/d 2001 (8 tahun)
    1 tahun Rp. 9.125.000,- x 8 tahun             =   Rp.  73.000.000,-
    Jumlah uang  nafkah                                    =   Rp.127.000.000,-

  • Selama suami di Jakarta, Juhara binti Delli (istri) telah mencari nafkah sendiri tukang jahit.
  • Oleh karena usaha untuk memperoleh uang nafkah istri dan nafkah anaknya dari suaminya Moh. Soleh bin Rubai selalu tidak berhasil, akhirnya Juhara binti Delli (istri) mengajukan gugatan terhadap Moh. Soleh bin Rubai di Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun, dengan tuntutan sebagai berikut :
  • Primair :
    Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
    Menghukum Tergugat untuk membayar hutangnya dengan rincian :
    Ibu Setiani – 10 gram gelang                   750.000,-
    Ibu Salati  – 1 Repes                                1.500.000,-
    Ibu Musliha  – 10 gram gelang                  750.000,-
    Mbah Sapik –                                             2.000.000,-
    Total                                                           Rp. 5.000.000,-
    Menghukum Tergugat untuk membayar uang nafkah istri yang telah dilalaikannya selama Tergugat pergi dari tahun 1980 – 2001 (selama 20 tahun) yang jumlah seluruhnya Rp.127.750.000,- selama Penggugat ditingal Tergugat.
    Menetapkan biaya perkara menurut hukum.
  • Subsidair : Mohon Putusan yang seadil-adilnya.

PENGADILAN AGAMA :

  • Setelah melalui proses persidangan, jawaban replik, duplik, pengajuan bukti surat dan para saksi dari Penggugat, sedangkan Tergugat tidak mengajukan bukti – buktinya maka Majelis Pengadilan Agama member putusan Sela yang isinya menolak tuntutan masalah utang yang dituntut dalam Surat gugatan Penggugat, dengan alasan bahwa masalah utang, bukan wewenang Pengadilan Agama.
  • Mengenai masalah tuntutan uang nafkah Majelis Pengadilan Agama memberikan pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut :
  • Masalah uang nafkah istri adalah merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami sesuai dengan kemampuannya. Hal ini diatur dalam pasal 34 UU No.1/tahun 1974. Pasal 80 ayat (2) (4), KHI menyebutkan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung
    Nafkah Kiswah dan tempat kediaman istri.
    Biaya rumah tangga, biaya pengobatan bagi istri dan anak.
    Biaya pendidikan bagi anak.
  • Terbukti, Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri yang sah. Kutipan Akta Nikah No.245/IX/1978 KUA Kec. Kamal, Kab. Bangkalan Madura.
  • Mereka berdua belum bercerai, karenanya penggugat (istri) berhak mendapatkan nafkah dari Tergugat (suami) dan berhak menuntutnya bila suami tidak member nafkah (lalai).
  • Bahwa kewajiban seorang suami member nafkah kepada istrinya selama adanya tamkin (penyerahan) istri kepada suami dan selama istri tidak berbuat nusyus kepada suaminya, Hal ini sesuai dengan doktrin dalam Kitab Hamisy Bajuri, II : 185 yang berbunyi, “Nafkah istri (yang tamkin), wajib atas suami menurut kemampuannya dan dalam Kitab Muhadarab II : 175 yang berbunyi,“Apabila istri ta’at, maka wajiblah suami member nafkah” sesuai dengan bukti yang ada, bahwa Penggugat selama ini telah tamkin terbukti dengan telah mempunyai anak adalah merupakan bukti bahwa penggugat telah tamkin dan menurut keterangan saksi (1 dan 2) terbukti pula bahwa selama ini penggugat tidak berbuat Nusyus, maka oleh karenanya penggugat berhak mendapat nafkah dari Tergugat ;
  • Bahwa apabila seorang suami telah melalaikan kewajiban member nafkah kepada istrinya, maka nafkah yang belum dibayarnya adalah menjadi hutang, hal ini sesuai dengan doktrin dalam Kitab Muhadarab, II : 175 yang berbunyi, “Dan jika suami tidak memberikannya, sehingga lewat suatu masa, maka nafkah tersebut menjadi hutang suami, karena tanggungannya, dan tidak gugur hutang dengan melewati suatu masa.
  • Oleh karenanya berdasarkan hal tersebut, maka kelalaian Tergugat kepada penggugat dengan tidak memberi nafkah sejak tahun 1980 sampai dengan sekarang adalah merupakan hutang Tergugat kepada penggugat yang harus dibayar.
  • Adapun besarnya uang nafkah yang harus dibayar oleh Tergugat kepada penggugat menurut perhitungan Majelis Hakim sebagai berikut :
    – Kurun waktu tahun 1980-1986, tiap bulan Rp. 100.000,- sehingga berjumlah = Rp.100.000,- x 12 (bulan) x 6 (tahun) minus Rp. 1.321.000,- (yang telah diterima penggugat) = menjadi Rp.5.879.000,-
    – Kurun waktu tahun 1986-1993, tiap bulan Rp.150.000,- menjadi Rp. 150.000,- x 12 (bulan) x 8 (tahun) menjadi Rp. 14.400.000,-
    – Kurun waktu tahun 1994 – 1 Februari 2001 = 7 tahun + 1 bulan. Nafkah tiap bulan Rp. 300.000,- menjadi  Rp. 300.000,- x 12 (bulan) x 7 (tahun) + Rp. 300.000,- jumlah = Rp. 25.500.000,-
    – Dengan demikian jumlah keseluruhan uang nafkah yang harus dibayar oleh Tergugat kepada penggugat adalah : I Rp.5.879.000,- + Rp.14.400.000,- + Rp.25.500.000,- total = Rp. 45.779.000,-
  • Berdasar atas pertimbangan tersebut diatas, akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Agama member putusan yang amarnya sebagai berikut :
    Mengadili :
  • Dalam Eksepsi :
    Menerima Eksepsi sebagian dan menolak sebagian.
  • Dalam pokok perkara :
    Menerima gugatan sebagian dan menolak selebihnya.
    Menghukum Tergugat untuk membayar Nafkah kepada penggugat Rp.45.779.000,-………dst………dst.
    Menghukum penggugat membayar biaya perkara…dst…dst.

PENGADILAN TINGGI AGAMA :

  • Tergugat menolak putusan Pengadilan Agama tersebut diatas dan mohon banding ke Pengadilan Tinggi Riau di Pekanbaru.
  • Majelis Hakim setelah memeriksa perkara ini, didalam putusannya memberi pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut :
  • Didalam posita gugatan penggugat ternyata tidak ada uraian yang jelas tentang nafkah istri, yang tidak pernah dikirm oelh Tergugat, tetapi justru tergambar suaminya selalu mengirim uang kepada penggugat yang sebagian untuk membayar utangnya kepada orang lain.
  • Majelis Pengadilan Tinggi Agama menilai ternyata didalam gugatan penggugat petitum tidak didukung adanya posita yang benar, sehingga dapat dikategorikan sebagai gugatan yang tidak sempurna atau kabur, sehingga tidak sesuai dengan Hukum Acara Perdata.
  • Atas dasar alasan tersebut diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama member putusan sebagai berikut :
    Mengadili :
    Menyatakan permohonan banding dapat diterima.
    Membatalkan putusan Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun No.11/Pdt.G/2001/PA.TBK
    Mengadili Sendiri :
    Menyatakan Gugatan Penggugat Tidak dapat diterima.
    Membebankan kepada Penggugat /Terbanding biaya perkara.

MAHKAMAH AGUNG RI :

  • Penggugat menolak putusan Pengadilan Tinggi Agama dan mengajukan pemeriksaan kasasi dengan mengemukakan beberapa keberatan dalam Memori kasasinya.
  • Majelis Mahkamah Agung yang mengadili perkara kasasi ini, dalam putusannya berpendirian bahwa putusan Judex facti – Pengadilan Tinggi Agama salah dalam menerapkan hukum acara perdata, sehingga putusan Pengadilan Tinggi Agama a’quo harus dibatalkan, selanjutnya Majelis Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan mengambil alih pertimbangan hukum Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun yang dinilai oleh Majelis Mahkamah Agung adalah sudah benar dengan tambahan pertimbangan dari Mahkamah Agung yang pada intisarinya sebagai berikut :
  • Dalam Hukum Acara HIR dan RBg, diatur syarat gugatan dengan sederhana, sehingga Hakim dianjurkan aktif untuk memberikan bantuan bila didalam gugatan tersebut mengandung ketidak jelasan.
  • Gabungan gugatan berupa : Nafkah lampau dengan ganti uang untuk membayar utang-utangnya penggugat, tidaklah menjadikan gugatan penggugat menjadi kabur, seperti yang diputus pleh Pengadilan Tinggi Agama dinyatakan tidak dapat diterima. Majelis Mahkamah Agung memandang cukup, bila gugatan tentang utang Penggugat tersebut, dinyatakan tidak dapat diterima.
  • Kelalaian Tergugat (suami) memberi nafkah kepada Penggugat (istri) sejak 1980 sampai sekarang sudah terbukti dalam persidangan, Karenanya sesuai pasal 34 ayat (1) (3) UUNo.1/tahun 1974, maka Tergugat wajib memberi  nafkah lampau.
  • Tuntutan mengenai “nafkah anak”, adalah bukan “lil tamlik”, akan tetapi “lil intifa” oleh karenanya nafkah anak yang telah lampau, tidak dapat digugat, sehingga gugatan tentang masalah ini, harus ditolak.
  • Berdasarkan atas pertimbangan tersebut diatas akhirnya Majelis Mahkamah Agung member putusan sebagai berikut :
    Mengadili :
    Menerima kasasi dari pemohon kasasi…………dst.
    Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Riau, No.31/Pdt.G/2001/PTA.PBR, tanggal……….dst.
    Mengadili Sendiri :
  • Dalam Eksepsi :
    Mengabulkan Eksepsi Tergugat sebagian.
    Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili gugatan penggugat mengenai utang piutang.
  • Dalam Pokok Perkara :
    Mengabulkan gugatan untuk sebagian.
    Menghukum Tergugat membayar nafkah lampau kepada penggugat sebanyak 25.000.000,-
    Menyatakan gugatan penggugat membayar utang piutang, tidak dapat diterima.
    Menghukum penggugat membayar biaya perkara…..dst…..dst.

CATATAN :

  • Kaidah Hukum yang dapat diangkat dari putusan tersebut diatas sebagai berikut :
  • Menurut Asas Hukum Acara Perdata, HIR dan RBg, tidak diharuskan sebuah gugatan perdata dibuat rinci, sebagaimana yang diatur dalam Rv. (Hukum Acara Perdata Eropa). Adanya gugatan yang disusun secara sederhana, menurut HIR, menganjurkan Hakim bertindak aktif untuk member bantuannya, bilamana dalam gugatan tersebut mengandung ketidak jelasan.
  • Dalam gugatan yang menggabungkan dua tuntutan berupa : nafkah lampau istri dengan penggantian utangnya Penggugat, Hal ini tidak menjadikan gugatan ini menjadi kabur. Hakim tetap dapat memeriksa dan mengadili tuntutan nafkah istri; sedangkan tuntutan penggantian uang karena adanya utang penggugat, maka Hakim dapat menyatakan tuntutan/gugatan utang tersebut tidak dapat diterima.
  • Kelalaian suami member nafkah kepada istrinya, pada masa yang lampau (sejak tahun1980 sampai dengan adanya gugatan ini tahun 2001), Karena sudah terbukti didalam persidangan Pengadilan Agama, maka sesuai dengan ketentuan pasal 34 ayat (1) (3), UU No.1/tahun 1974 pihak suami wajib memberikan uang nafkah lampau.
  • Tuntutan “nafkah anak” pada masa yang lampau tidak dapat dituntut dengan alasan, karena nafkah anak ini, adalah bukan “lil tamlik”, melainkan “lil intifa, sehingga gugatan tentang nafkah anak pada masa yang lampau, ditolak oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
  • Demikian catatan dari putusan diatas.
    Pengadilan Agama di Tanjung Balai Karimun No.11/Pdt.G/2001/PA.TBK, tanggal 26 Juni 2001 M. bertetapan dengan tanggal  4 Rabiul Akhir 1422 H.
    Pengadilan Tinggi Agama Riau di Pekanbaru No.31/Pdt.G/2001/PTA-PBR, tanggal 22 Agustus 2001 M bertetapan dengan tanggal 03 Jumadil Akhir  1422 H.
    Mahkamah Agung RI No.24 K/AG/2003, tanggal 26 Februari 2004.

 

 

 

 

 

Recent Posts

Send this to a friend